sejarah aceh
Mengenang Tragedi Beutong Ateuh
sumber: atjehcyber.tk
bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah
Hakikatnya Aceh Tak Pernah Berontak
Dari seluruh daerah di Nusantara, perlawanan Rakyat Aceh merupakan perlawanan terhebat dan terdahsyat yang pernah dihadapi kolonialis Belanda saat hendak menguasai seluruh wilayah Nusantara. Aceh adalah Kerajaan Islam Besar yang telah berdaulat berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Bahkan wilayah ini bersama dengan kerajaan-kerajaan Islam di Jazirah Al-Mulk (Maluku) masuk di dalam wilayah perlindungan Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah.
Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Aceh, kita sering mendengar istilah ‘Pemberontakan Rakyat Aceh’ atau ‘Pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah—terutama dari Jawa—dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI.
bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah
Hubungan Pasai dan Majapahit
Ratu Nur Ilah merupakan salah satu penguasa perempuan yang terkenal dalam sejarah Kerajaan Pasai. Ia mangkat pada tahun 1380 Masehi. Ia diangkat menjadi ratu setelah Pasai diserang oleh Majapahit.
Mengenai sejarah perempuan perkasa ini sudah banyak ditulis oleh para ahli sejarah, diantara Dr Hoesein Djajaninggrat, yang langsung meneliti pahatan tulisan beraksara Arab di makanya. Kemudian Dr Othman M Yatim pakar arkeologi Islam Malaysi bersama Abdul Halim Nasir.
Menurut mereka, inskripsi yang terdapat pada nisan yang bertulisan Arab menyebutkan angka tahun mangkat sang Ratu yaitu Jumat 14 Zulhijah tahun 791 Hijrah, sedangkan yang tertera pada nisan yang berhuruf Jawa Kuno terpahat tahun 781 Hijrah. Jadi, antara kedua nisan itu terdapat selisih 10 tahun.
Menurut Dr W F Stutterheim, hal itu terjadi karena kesilapan pemahat sehingga, baginya, tahun yang tertera pada nisan yang bertulisan Jawa Kuno, yang bertepatan dengan tahun 1380 Masehi tersebut, merupakan tahun mangkatnya Ratu itu. Tulisan Jawa Kuno yang terpahat pada nisan yang sebuah lagi telah diteliti oleh Stutterheim dan dimuat dalam Acta Orientalia, Leiden, tahun 1936.
Hooykaas menerjemahkan syair di nisan itu sebagai berikut : “Ssetelah hijrah Nabi, kekasih, yang telah wafat, tujuh ratus delapan puluh satu tahun, bulan Zulhijah , 14, hari Jumat, Ratu iman Werda rahmat Allah bagi Baginda, dari suku Barubasa [di Gujarat], mempunyai hak atas Kedah dan Pasai, menaruk di laut dan darat semesta, ya Allah, ya Tuhan semesta, taruhlah Baginda dalam swarga Tuhan.’’
Prof Dr T Ibrahim Alfian adalam tulisannya dimuat dalam buku Wanita-wanita Perkasa di Nusantara, data lain yang berkaitan dengan sang Ratu, maupun yang berhubungan dengan takluknya Kedah kepada Pasai, sampai sejauh ini belumlah ditemukan, kecuali informasi dari nisan Ratu Nurilah yang tersebut di atas.
Meskipun demikian, pertalian kebudayaan antara Pasai dan Kedah telah terjalin lama seperti yang terlihat, antara lain, dari persamaan istilah untuk menyukat hasil-hasil pertanian, misalnya padi dan beras. “Stutterheim juga menganggap penyebutan dua kerajaan itu sangat menarik karena antara Pasai dan Kedah di waktu kemudian terdapat hubungan dagang, mengingat, di Selat Malaka, letaknya berseberangan. Mungkin hubungan inilah yang masih tersisa dari kesatuan Kerajaan Sriwijaya dan Kadara masa lalu, yaitu Sumatra dan Malaya,” jelasnya.
Namun yang menjadi pertanyaan baginya adalah mengapa di antara nisan Ratu Nur Ilah ini terdapat tulisan Jawa Kuno? Ratu Nurilah, sebagaimana disebutkan di atas, mangkat pada tahun 1380, masa Kerajaan Majapahit diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk. “Patut dicatat bahwa Majapahit berada dalam puncak kejayaan pada pertengahan abad XIV berkat pimpinan Mahapatih Gadjah Mada. Dalam kitab Negarakrtagama yang digubah oleh Prapanca pada tahun 1365 disebutkan bahwa Samudra, tepatnya Samudra Pasai, adalah salah satu daerah yang ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit,” ungkapnya dalam tulisan tersebut.
Kemudian ia melanjutkan, sumber lain mengenai adanya serangan Majapahit terhadap Pasai terdapat dalam Kronika Pasai atau Hikayat Raja-raja Pasai. Meskipun tidak menyebutkan angka tahun penyerangan itu, hikayat ini masih memberikan indikasi waktu, yaitu dengan menceritakan nama raja yang berkuasa pada waktu serangan itu terjadi, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Ahmad.
Hikayat Raja-raja Pasai mengisahkan bahwa setelah tiga hari tiga malam berperang, kalahlah Pasai sehingga rakyat lari cerai berai. Laskar Majapahit masuk ke dalam kota Pasai dan menduduki istana Sultan Ahmad. Banyak rampasan dan tawanan yang mereka peroleh. Sultan Ahmad meninggalkan istana, melarikan diri ke suatu tempat kira-kira lima belas hari perjalanan dari negeri Pasai.
Setelah beberapa lama di Pasai, segala menteri punggawa dan rakyat Jawa dikerahkan oleh Senapati mereka naik ke bahteranya masing-masing, kembali ke Jawa, dengan memuat segala harta rampasan yang begitu banyak. Setelah sampai ke Majapahit, menurut Hikayat Raja-raja Pasai, Sang Nata bertitah, ‘’Akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, maka kesukaan hatinya’’. Titah itulah, kata Hikayat Raja-raja Pasai selanjutnya, yang menyebabkan ‘’maka banyak keramat di Tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu’’.
Dalam kaitan ini P De Roo de la Faille, dalam tulisannya ‘’Bij de Terreinschets van de Heilige Begraafplaats Goenoeng Djati’’, 1920, mengemukakan bahwa ditemukannya cungkub Puteri Cermen di desa Leran dengan candrasengkala 1313 atau 1308 Saka bertepatan dengan tahun 1391 atau 1386 Masehi menunjukkan telah adanya makam Islam di Gresik pada waktu itu. Hal itu, sesuai dengan dugaan de Roo de la Faile, bahwa koloni orang-orang Islam Gresik pada masa itu sesungguhnya berasal dari tawanan orang-orang Islam Pasai yang dibawa ke Majapahit.
Masih menurut Ibrahim Alfian, Dalam sebuah naskah Jawa, Tapel Adam, nama Pasai tercantum dalam sejarah pendakwah-pendakwah Islam pertama. Didalamnya diceritakan bahwa Syaikh Jumadilkubra adalah keturunan Zainul Abidin, sedangkan putera Jumadilkubra yang tertua adalah Maulana Ishak. ‘’wontening pase negeri, anyelammaken taiya, manjing Islam Nate Pase’’, dan puteranya yang kedua, Ibrahim Asmara, ‘’lumampah dateng Cempa’’.
Di dalam naskah Tapel Adam juga dikisahkan tentang Batara Majapahit yang memperisterikan puteri Raja Pasai dan saudara puteri itu datang ke Majapahit serta kemudian oleh Batara Majapahit dihadiahkan tanah Ampel-denta sebagai tempat kediamannya. Cerita seumpama ini terdapat pula dalam Hikayat Banjar yang juga akan dikemukakan di bawah ini.
Kemudian lanjut Ibrahim Alfian, pada akhir naskah Hikayat Raja-raja Pasai diceritakan sebagai berikut. ‘’Bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu [Raja] Negeri Majapahit kepada zaman pecahnya [kalahnya] Negeri Pasai, ratunya [rajanya] bernama Ahmad.’’
Cerita itu disertai dengan daftar nama-nama 35 buah negeri yang takluk kepada Majapahit, antara lain, untuk menyebutkan beberapa, Tiuman, Riau, Bangka, Sambas, Jambi, Kutai, Bima, Sumbawa, dan Seram. Hikayat Banjar juga menyebutkan bahwa yang takluk kepada Majapahit adalah Banten, Jambi, Palembang, Makasar, Pahang, Patani, Bali, Pasai, Campa, dan Minangkabau.
Nur Ilah Diangkat Jadi Ratu
Masih menurut Ibrahim Alfian, sebelum bala tentara Majapahit meninggalkan Pasai, kembali ke Jawa, rupanya pembesar-pembesar Majapahit telah mengangkat seorang raja, bangsawan Pasai, yang dapat dipercaya untuk memerintah Kerajaan Pasai. Raja ini tiada lain adalah Ratu Nur Ilah, keturunan Sultan Malikuzzahir, yang nisannya ditatah dengan huruf Jawa Kuno atas arahan yang diberikan oleh pembesar-pembesar Majapahit, tentunya.
Antara Kerajaan Majapahit dan Pasai terdapat hubungan persahabatan dan perdagangan yang sangat erat. Malaka yang mulai berkembang sebagai bandar dagang yang besar sekitar tahun 1400 Masehi mengakui peranan Pasai dan Majapahit dalam bidang perdagangan di Selat Malaka.
Tome Pires, yang menulis catatannya di Malaka dan India antara tahun-tahun 1512-1515 dalam Bahasa Portugis, dengan judul Suma Oriental, mengemukakan sebagai berikut. Malaka mengirim dutanya ke Majapahit untuk merayu Raja Jawa agar pedagang-pedagang Jawa mau melakukan kegiatan perdagangannya di Bandar Malaka. Raja Jawa mengemukakan kepada utusan Malaka itu, bahwa jung-jungnya telah lama sekali berlayar ke Pasai untuk berniaga dan ia mempunyai hubungan persahabatan yang erat dengan Pasai.
Di pelabuhan Pasai pedagang-pedagang Jawa memperoleh kedudukan istimewa dalam bentuk pembebasan dari keharusan membayar cukai impor serta ekspor dan perolehan barang dagangan yang baik dang menguntungkan. Raja Majapahit menambahkan, meskipun Raja Pasai menjadi vasal Majapahit, penentuan kebijaksanaannya dalam bidang perdagangan terserah kepada Raja Pasai sendiri. Ia sendiri tidak hendak menghapuskan kebiasaan yang telah lama ada dan telah disepakati sejak lama antara kedua kerajaan itu.
Setelah dutanya kembali ke Malaka, Raja Malaka mengirimkan pesan kepada Raja Pasai, mengharapkan kebaikannya agar menyetujui dan tidak berkecil hati jika Jawa berhubungan dagang dengan Malaka, serta memohon kebaikan Raja Pasai untuk megirimkan pedagang-pedagangnya beserta barang-barang dagangannya ke Malaka.
Raja Malaka juga menyampaikan bahwa ia telah mendapat jawaban dari Raja Majapahit, bahwa jika Raja Pasai bersetuju, Raja Majapahit akan berbesar hati. Raja Pasai kemudian mengirimkan utusannya ke Malaka untuk menyampaikan pesan bahwa Pasai tidak keberatan memenuhi permintaan Raja Malaka apabila Raja tersebut bersedia memeluk agama Islam. Akhirnya, Raja Malaka beserta segenap rakyatnya beriman akan Allah dan rasul-Nya dan sesudah itu banyak sekali pedagang Islam dari Pasai pindah berdagang ke Malaka, terutama bangsa Arab, Parsi dan Bengal.
Tautan antara Pasai dan Majapahit juga diungkapkan oleh Dr J J Ras dalam desertasinya yang dipertahankan pada tahun 1968 di Rijksuniversiteit Leiden, yaitu Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. Di dalamnya dikisahkan tentang Raja Majapahit yang belum Islam, yang mengirim utusannya untuk meminang putri Pasai. Meskipun raja Pasai itu beragama Islam, ia tidak kuasa menolaknya, takut diserang oleh Majapahit. Ia hendak memelihara rakyat dan negerinya dari kebinasaan. Di Majapahit puteri Pasai itu diberi tempat tinggal yang terpisah, tiada bercampur dengan gundik-gundiknya yang lain, agar tiada memakan makanan yang haram.
Selang beberapa waktu datanglah saudara Puteri Pasai, Raja Bungsu namanya. Setelah beberapa lamanya ia di Majapahit, ia ingin kembali ke Pasai. Puteri Pasai itu tiada sekali-kali ingin saudaranya pulang ke Pasai, karena ia tidak mempunyai sanak saudara di Majapahit. Oleh karena Raja Bungsu berkeras hendak pulang juga ke Pasai maka puteri itu merasa sangat sedih. Karena Raja Majapahit sangat sayang kepada Puteri Pasai itu, dimintanya kepada Raja Bungsu agar tinggal saja di Majapahit, agar Puteri itu tidak sampai jatuh sakit. Raja Majapahit bertitah jika Raja Bungsu bersedia tinggal di Majapahit, ia dapat mendirikan rumah ditempat mana saja yang disukainya.
Akhirnya Raja Bungsu memilih Ampel sebagai tempat kediamannya dan Raja Majapahit berkenan meluluskan permohonan Raja Bungsu itu. Ketika menebas hutan di dukuh Ampel itu, Raja Bungsu menemukan kayu gading yang kemudian dijadikan tongkat. Sejak itu, dukuh itu terkenal dengan nama Ampelgading hingga sekarang ini. Karena desa Ampel hendak memeluk agama Islam, Raja Bungsu mengirim utusannya untuk menyampaikan hasrat tersebut kepada saudaranya, Puteri Pasai, yang kemudian meneruskannya kepada suaminya, Raja Majapahit.
Sabda Raja Majapahit menurut Hikayat Banjar, berbunyi demikian: ‘’Katakan arah Bungsu, barang siapa handak masuk Islam itu terima masukkan Islam itu. Jangankan desa itu, maski orang dalam nageri Majapahit ini, namun ia hendak masuk Islam itu, masukkan’’. Setelah suruhan Bungsu kembali ke Ampel, seluruh penduduk Ampel memeluk agama Islam.[iskandar norman]
bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah
Memori Sulthan Iskandar Muda dan Tgk.Japakeh
Penyerangan Kerajaan Aceh terhadap Semenanjung Malaya dilakukan dengan Ghali, yakni kapal perang besar dan Djong (perahu) yang dibeli dengan keuntungan dari perniagaan lada, Tgk Japakah ikut serat di dalamnya.
Dalam Hikayat Sulthan Aceh Iskandar Muda diceritakan, setelah saran-saran dari Putroe Phang, Sulthan Iskandar Muda meninggalkan istananya. Ia berangkat diiringi para menteri dan uleebalang serta bala tentaranya. Mereka berjalan melalui darat dana akan naik kapal di Kuala Jambo Aye. Kapal-kapal perang menyusuri pantai mengikuti rombongan Sulthan Iskandar Muda. Armada perang itu dinamai Cakra Donya.
Sampai di Negeri Pidie rombongan beristirahat. Panglima Pidie berserta rajanya menyatakan dukungan dan bergabung dengan armada Cakara Donya. Dari Pidie mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Negeri Meureudu.
Hal yang sama juga diungkapkan H M Zainudidn dalam buku “Singa Atjeh” terbitan Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1957. Dalam buku setebal 198 halaman itu perjalanan Sulthan Iskandar Muda ke beberapa daerah untuk mengumpulkan kekuatan menyerang Johor dan Malaka. Dalam perjalanannya, Iskandar Muda memberi nama beberapa daerah yang dilaluinya.
Penyerangan terhadap Semenanjung Malaya itu akan dilakukan dengan Ghali, yakni kapal perang besar dan Djong (perahu) yang dibeli dengan keuntungan dari perniagaan lada. Untuk mengumpulkan bala tentara tambahan maka perjalanan ke daerah-daerah dilakukan.
Para pembesar negeri, ulama dan para panglima dikumpulkan untuk menyokong penyerangan tersebut. Sulthan juga melakukan pertemua dengan empat kepala kaum di Aceh yaitu, kaum imum peut, kaum tok batee, kaum lhee reutoh dan kaum ja sandang. Tujuannya, bersepakat untuk menyerang Portugis yang telah lama mengganggu Kerajaan Aceh dan Semenanjung Malaya.
Setelah empat kaum itu dipertemukan dalam sebuah pertemuan, para pemuda direkrut menjadi angkatan perang untuk menambah barisan tentara kerajaan. Sulthan juga mengirim surat rahasia kepada para panglima di pelosok-pelosok Aceh untuk menyiapkan pasukannya.
Ketika persiapan dengan pusat kerajaan sudah dirasa memadai, dilakukan kenduri besar bersama rakyat. Para panglima berpidato membakar semangat tentara kerajaan untuk menuju Semenanjung Malaya. Sulthan memerintahkan angkatan lautnya untuk berangkat terlebih dahulu ke pesisir Timur dan berkumpul di Teluk Aru (Pulau Kampai) dan Asahan yang diiringi bersama oleh Panglima Deli.
Sementara Sulthan dan rombongannya mengambil jalan darat dengan menggunakan gajah. Sepanjang perjalanan ia mengumpulkan para prajurit dari setiap daerah yang sudah disiapkan oleh para panglimanya masing-masing. Sulthan Iskandar Muda ingin mengajak Panglima Pidie dan Panglima Meureudu untuk membantunya dalam misi tersebut.
Para panglima asal negeri Meurueudu dikenal sebagai orang yang berkarakter, suaranya keras, matanya kadang terbelalak kalau sedang marah. Maka orang-orang dari Meureudu dikenal sebagai orang yang mata hu su meutaga, yakni mata terbelalak dan bersuara keras. Hal ini secara historis menjadi karakter masyarakat di Negeri Meureudu yang bersikap tegas, disiplin dan konsekwen. Golongan dari merekalah yang banyak menjadi panglima.
Namun sikap yang mata hu su meutaga itu kadang juga muncul dalam kemarahan, emosional, mudah tersinggung, bahkan bengis ketika melawan musuh. Orang-orang yang mampu menjaga karakter itu pada tempatnyalah yang lebih banyak lulus sebagai perwira militer setingkat panglima di pusat pelatihan Raweu.
Pusdiklat Raweu itu dibangun oleh Tgk Japakeh, ulama besar di Negeri Meureudu yang diangkat sebagai penasehat kerajaan pada masa Sulthan Iskandar Muda memerintah Aceh. Kala itu Sulthan Iskandar Muda hendak menyerang Johor dan Malaka, ia bergerak menuju Negeri Meureudu untuk menjumpai Tgk Japakeh yang akan diangkat sebagai penasehat perang, ahli siasat militer.
Keberadaan Pusdiklat Raweu di Negeri Meureudu membuat Kerajaan Aceh begitu tergantung padanya. Untuk mengembangkan Pusdilkat Raweu menjadi pusat pelatihan yang lebih baik, Sulthan Aceh menjalin kerjasama dengan Turki. Malah Tgk Japakeh yang bernama asli Jalaluddin merupakan ulama dan diplomat yang memiliki garis keturunan dengan Bangsa Turki. Ia berasal dari Khoja Faqih Turki, namun orang-orang di Meureudu suka memanggilnya dengan nama yang singkat Japakeh yang bermakna Tgk Jalaluddin dari Faqih.
Ketika pertama datang ke Negeri Meureudu, Tgk Japakeh menetap di Raweu di lembah hulu sungai Meureudu, sekitar 40 kilometer arah selatan pusat pemerintahan Negeri Meureudu, yang berbatasan langsung dengan Aceh Barat. Sulthan Iskandar Muda datang ke Negeri Meureudu untuk menjemput Tgk Japakeh. Ia akan diangkat sebagai penasehat militer dalam misi perang menyerang Johor dan Malaka.
Tgk Japakeh bersama rakyat Raweu membawa hasil pertanian, turun ke pusat Negeri Meureudu untuk menyambut kedatangan Sulthan Iskandar Muda, tapi sampai pada waktu yang ditentukan, Raja Aceh itu tidak muncul. Tgk Japakeh memerintahkan masyarakat Raweu untuk kembali, sehingga ketika Sulthan Iskandar Muda tiba, tak ada yang menyambutnya.
Sulthan Iskandar Muda kemudian mengirim utusan ke Raweu untuk menjemput Tgk Japakeh. Rakyat Raweu pun kembali turun bersama Tgk Japakeh membawakan hasil pertanian sebagai persembahan bagi raja agung itu. Ia meminta maaf tentang hal itu. Namun Sulthan Iskandar Muda menolaknya, ia marah besar karena sudah seminggu berada di Meureudu tak ada yang menyambutnya.
Melihat Sulthan Iskandar Muda marah, maka Tgk Japakeh dengan bersuara lantang di hadapan raja memerintahkan kepada warga Raweu untuk mengambil kembali barang bawaannya. “Ambil kembali barang itu, mari kita kembali ke Raweu, tak perlu kita memuliakan orang yang tidak mau menerima hormat kita. Raja yang ingkar janji yang datang tidak pada waktu yang dijanjikannya,” perintah Tgk Japakeh.
Mendengar suara Tgk Japakeh yang bengis dan lantang itu, Sulthan Iskandar Muda menyadari kesalahannya. Ia membujuk Tgk Japakeh agar tidak kembali ke Raweu dan mau ikut dengannya sebagai penasehat militer untuk misi menyerang Johor dan Malaka.
Tgk Japakeh mengiyakan permintaan Sulthan Iskandar Muda tersebut dengan syarat, orang Meureudu harus diangkat menjadi panglima dalam perang tersebut. Ia merekomendasikan Tgk Chik Pante Geulima, yang setelah penyerangan ke Johor dan Malaka itu menulis hikayat Malem Dagang dengan 2.695 bait yang menceritakan kisah armada Iskandar Muda dalam perang tersebut.
Tgk Japakeh dan Malem Dagang memiliki watak keras, dua ulama Negeri Meureudu tersebut, yang berani bersikap lantang di hadapan Sulthan selama sikap yang diyakininya itu benar. Sebagaimana lantangnya Tgk Japakeh terhadap Sulthan Iskandar Muda.
Tgk Chik Pante Geulima lahir pada tahun 1839 di kampung Pante Geulima. Ia pernah belajar di Pusat Pendidikan Islam Dayah Pante Geulima yang dipimpin ayahnya sendiri Teungku Chik Ya’kub. Selain itu itu, ia juga pernah mengikuti pendidikan militer di pusat pelatihan Askar (tentara) Aceh, Makhad Baital Makdis di Raweu.[iskandar norman]
bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah
Rapat Sulthan di Negeri Meureudu
H M Zainuddin dalam buku Singa Atjeh terbitan Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1957 megnisahkan, sepanjang perjalanan dari pusat kerajaan di Bandar Darussalam sampai ke Negeri Pidie dan Meureudu, parade tentara kerajaan bersama Sulthan singgah untuk rehat di beberapa tempat.
Tempat-tempat yang disinggahi itu di antaranya Paru yang saat itu sebagai pusat perkebunan lada, dari sana Sulthan menuju Kuala Keurandji yang suanginya berair jernih. Rombongan Sulthan istirahat di pantai pinggir kuala tersebut. Pantai itu kemudian dimanai Panteraja, yang bermakna pantai tempat raja singgah.
Di muara sungai terletak satu benteng peningalan Portugis ketika menyerang Negeri Pidie. Di atas bukit dekat kuala tersebut terdapat bekas kota atau bandar tempat penjualan lada dari perkebunan antara Kuala Njoeng dan Kuala Panteraja. Di kaki bukit tersebut terdapat kuburan Tu Uleegle yang tewas ketika menyerang benteng Portugis sekitar tahun 1521.
Tu Uleegle merupakan kakek dari Meuntroe Adan dan Bentara Seumasat Geulumpang Payong. Meuntroe Adam kemudian diangkat menjadi Laksamana oleh Sulthan Alaaddin Djohan Sjah (1742-1767). Sementara Potjut Muhammad diangkat menjadi Wali Nanggroe Pidie.
Di Panteraja Sulthan Iskandar Muda melatih lagi tentara baru di sebuah tanah lapang yang dinamai Blang Peurade. Daerah itu sampai kini dikenal dengan nama Peurade yakni daerah bekas dilakukan parade pasukan oleh Sulthan Iskandar Muda yang diambil dari berbagai daerah yang dilaluinya.
Setelah parade pasukan, Sulthan Iskandar Muda terus bergerak bersama ribuan prajurit ke arah timur. Daerah yang diallui pertama oleh parade pasukan itu dinamia Juroeng Beurangkat, yang artinya lorong (jalan) berangkatnya Sulthan. Sampai di suatu daerah, rombongan Sulthan diminta untuk singgah dan istirahat oleh penduduk yang menantinya. Di tempat itu Sulthan dipersilahkan duduk (Puduek) dan dijamu dengan tebu dan kelapa muda. Daerah itu kemudian dinamai Puduek yang artinya dipersilahkan duduk.
Dari Puduek Sulthan Iskandar Muda bersama bala tentaranya terus bergerak ke arah Timur hingga sampai ke sebuah daerah yang di pinggir jalannya terdapat pohon besar. Di bawah pohon itu Sulthan melihat sebuah umpang (karung). Tetapi pemilik karung itu tidak berada di situ. Sulthan memerintahkan bawahannya untuk mencari pemilik karung tersebut.
Kepada orang-orang di sekitar itu ditanyakan siapa pemilik karung itu. Seorang warga memberitahu bahwa karung itu milik seorang pria tua. Orang Aceh menyebutnya eumpang wa, yang berjalan lebih dahulu dari bawah pohon tersebut. Daerah itu kemudian dinamai Eumpang Wa, lama-lama berubah pengucapannya, hingga kini dikenal sebagai daerah Pangwa.
Seorang prajurit kemudian menjinjing karung itu untuk menyusul pemiliknya, namun setelah sekitar satu jam perjalanan, tak ditemukan, hingga Sulthan dan rombongan kemudia kembali istirahat di pinggir sungai kecil. Karena tak berhasil mencari pemilik karung tersebut, Sulthan memerintahkan prajurit itu untuk membukanya. Saat dibuka ternyata isinya beulacan (belacan). Sungai dan daerah pun dinamai Beulacan, yang kini dikenal sebagai Kemukiman Beuracan.
Dari Beuracan rombongan Sultan Iskandar Muda terus berjalan untuk menjumpai Tgk Jalaluddin Pakeh yang akan diangkatnya menjadi panglima perang. Sampai di suatu tempat, gajah yang ditunggangi Sulthan berhenti di sebuah bukit. Gajah yang dipanggil Meurah itu duduk di bukit itu di bawah pohon rindang.
Gajah duduk dalam bahasa Aceh disebuh Meurah Du, maka daerah itu pun dinamai Meurah Du, yang lama kelamaan pengucapannya berubah menjadi Meureudu, kota yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Pidie Jaya. Negeri Meureudu dulu diperintahkan oleh seorang Keuhruen Syik dengan 12 uleebalang di bawahnya.
Karena sudah sore, Sulthan menginap di negeri Meureudu untuk menjemput Tgk Japakeh dan Malem Dagang. Sulthan dan rombongan menginap agak ke timur dari daerah gajah duduk. Daerah itu dinamai dom sinaroe, yang bermakna bermalam bersama. Kini dikenal sebagai daerah Naroe.
Esoknya, Sulthan Iskandar Muda mengadakan rapat dengan Uleebalang dan panglima di negeri tersebut yakni: Tgk Jalalauddin Fakih (Tgk Japakeh) Tgk Malem Dagang dan Teungki Chik Pante Geulima di Meureuedu, Bentara Blang Ratna Wangsa, Meuntroe Adam, Bentara Keumangan, Bentara Seumasat Geuleumpang Payong, Bentara Puteh Mukim VIII, serta para petinggi negeri dan ulama di daerah itu.
Dalam pertemuan dengan Tgk Ja Pekeh di Meureudu, kepada Sulthan Iskandar Muda diusulkan agar Malem Dagang diangkat menjadi Panglima perang menyerang Semenanjung Malaya. Hal itu diterima olehg Sulthan dan Malem Dagang pun diangkat menjadi panglima.
Rapat itu juga menghasilkan kesepakatan bahwa seluruh rakyat negeri Meureudu dan Pidie mendukung perang yang akan dilakukan Sulthan. Sulthan Iskandar Muda mengangkat dan mengambil sumpah pejabat pemerintahan di Negeri Meureudu dan Pidie. Kepada mereka diberikan gelar kehormatan Mentroe (Menteri) dan Bentara (perwira), serta panglima dan keujruen bagi Uleebalang yang menjabat di Kuala dan Rimba.
Jabatan kehormatan Meuntroe diberikan kepada, Meuntroe Banggalang, Aree, Garot Metareum dan Krueng Seumideun. Sedangkan jabatan kehormatan Bentara diberikan kepada Bentara Rubee, Tjembo, Titue Keumala, Gigieng, Pineung, Blang Gapu, Gampong Asan, Ndjong, Tanoh Mirah dan Luengputu.
Sementara jabatan kehormatan Keujruen diberikan kepada, Keujruen Teurusip, Aron Langieng, Musa, Pante Raja, Pangwa. Dan panglima yang menjaga perintah turun ke sawah diangkat Panglima Meugoe Unoe. Untuk memimpin armada dan tentara kerajaan yang akan menyerang Semenanjung Malaya itu, Malem Dagang dari Negeri Meureudu diangkat menjadi Panglima dengan jabatan panglima besar.
Setelah menginap beberapa hari di Negeri Meureudu dan mengumpulkan lagi pasukan di sana, rombongan Sulthan Iskandar Muda bergerak lagi menuju ke arah timur. Pada tengah hari rombongan itu tiba disebuah kelokan sungai yang berair dingin dan jenih. Air sungai yang deras mengalir di celah batu-batu besar yang disebut Batee Ile, batu dengan air mengalir. Daerah inilah dinamai Batee Ile yang sekarang dikenal sebagai tempat wisata Batee Iliek.
Setelah mandi dan sembahyang di Batee Ilek, rombongan Sulthan menuju ke sebuah perkampungan dekat sungai itu. Daerah itu terdapat sebuah tumpukan rumah yang jumlah rumahnya ada enam puluh. Sulthan menamai daerah itu Tumpok Namploh, yakni desa dengan enampuluh rumah. Di kampung itu rombongan Sulthan juga bermalam. Kampung itu ramai karena letaknya di aliran Krueng Batee Iliek yang jernih. Di Tumpok Namploh Sulthan juga merekut para pemuda untuk memperkutan barisan tentaranya.
Pada pagi harinya, prajurit dan para perwira mandi di sungai. Saat berenang datanglah seekor elang yang menyambar tali pinggang putih di atas pantai, milik salah seorang perwira. Tali pinggang itu mungkin dikira ular oleh elang sehingga disambar. Elang itu terbang dan kemduian berhenti di atas bak nga (pohon kenang)
Perwira yang sedang berenang itu terkejut, lalu mereka beramai-ramai mengejar elang itu. Karena takut elang itu terbang lagi dan menyambar pohon kenanga. Maka elang itu disebut kleung sama bak nga, artinya elang yang menyambar pohon kenanga. Hal itu pula yang menurut H M Zainuddin sebagai asal usul dari nama Samalanga.
Dari Samalanga rombongan Sulthan kemudian berangkat lagi menuju pesisir timur. tidak berapa jauh dari Samalanga di tengah jalan rombongan itu dilintasi oleh sekawan kera (bue). Mereka menyeburnya ditham le bue, yakni dilintasi oleh kera. Karena itulah daerah padang yang dilalui itu dinamai Tham Bue, yang kini dikenal sebagai daerah Tambue.
Rombongan Suthan kemudian berjalan sampai menjumpai sebuah kuala. Karena sudah sore mereka bermalam di situ. Warga sekitar kemudian mengantarkan hidangan ala kadar untuk rombongan Sulthan dan tentaranya. Di antaranya hidangan dan sarapan itu terdapat isi satu piring sambal yang diantar oleh seorang wanita. Sambal itu terbuat dari ikan dan direbus seperti petis udang. Orang Aceh menamai sambal itu “peuda” dan karena rasanya sangat pedas maka mereka itu menyebut terlalu pedas dengan kata peuda da yang kemudian menjadi nama daerah tersebut; Peudada.
Esoknya Sulthan melanjutkan perjalanan hingga sampai ke suatu kuala besar yang dijaga oleh kapal perang raja di dekat daerah Jangka. Daerah itu pun dinamaka Kuala Raja, kuala yang dijaga oleh kapal perangnya raja.
Di situ Seri Sulthan memanggil pula para uleebalang untuk meminta orang ikut pergi menjerang Malaka. Tapi banyak yang takut dan tak ingin ikut dalam rombongan tersebut mereka takut akan terlibat dalam perang besar. Mereka melarikan diri ke dalam rimba. Orang-orang yang ketakutan itu dipanggil ka yo (sudah takut). Pengucapannya lama kelamaan berubah menjadi ga yo. Kelompok orang-orang yang lari dari ajakan perang inilah yang disebut H M Zainuddin sebagai orang-orang Gayo sekarang.
Uleebalang daerah itu merasa malu karena para pemudanya tidak berani ikut berperang. Karena itu, uleebalang minta maaf dan mempersilahkan suthan dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke Timur. Namun uleebalang itu berjanji akan menyuruh orang-orang yang lari ke rimba itu untuk menangkap gajah dan akan dipersembahkan kepada Sulthan nanti setelah pulang dari perang.
Ketika rombongan dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan itulah, timbul olok-olok dari kalangan tentara kerajaan yang ramai-ramai berteriak peusak ngon, yang atrinya mendesak kawan. Hal itu diucapkan karena uleebalang itu mendesak para tentara untuk melanjutkan perjalanannya, sementara uleebalang itu sendiri tidak memberikan pemudanya untuk menjadi tentara yang akan berperang ke Malaka. Dari kata peusak ngon itulah asal usul nama daerah Peusangan.
Dari Peusangan, bala tentara dan Sulthan terus melanjutkan perjalanan sampai ke suatu negeri yang bernama Kandang. Mereka berhenti di situ. Sulthan kembali meminta para pemuda di sana untuk bergabung dalam angkatan perang untuk diberangkatkan menuju Malaka. Tapi warga di sana meminta keberangkatan di tunda dulu, mereka belum siap berangkat karena tanaman padinya belum dipanen. Karena itulah daerah itu dinamai tunda yang bermakna menunda keberangkatan, sebuah daerah yang kini kita kenal dengan nama Cunda.
Setelah orang-orang di Cunda siap untuk berangkat, rombongan menuju sebuah teluk yang indah, tapi sepi karena ditinggal pergi penduduknya. Di daerah itu hanya tinggal seorang nelayan tua yang sedang memancing. Rombongan Sulthan bertanya pada nelayan itu kemana para penduduk. Ia menjawab bahwa para penduduk sudah pergi, “Seuma-seuma ka iweh, (kuman-kuman sudah pergi),” jawab nelayan itu. Daerah itupun dinamai Seuma weh, daerah yang kini dikenal sebagai Lhok Seumawe.[iskandar norman]
bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah
Endatu Ureung Pidie
Selama ini kita mengetahui asal mula daerah Pidie sekarang adalah Kerajaan Poli atau Pedir, tapi ternyata jauh sebelumnya sudah ada Kerajaan Sama Indra sebagai cikal bakalnya.
Sebuah buku lama yang ditulis sejarawan M Junus Djamil yang disusun dengan ketikan mesin tik, mengungkapkan hal itu. Buku dengan judul “Silsilah Tawarick Radja-radja Kerajaan Aceh” Buku yang diterbitkan oleh Adjdam-I/Iskandar Muda tidak lagi jelas tahun penerbitnya. Tapi pada kata pengantar yang ditulis dengan ejaan lama oleh Perwira Adjudan Djendral Kodam-I/Iskandar Muda, T Muhammad Ali, tertera 21 Agustus 1968.
Buku setebal 57 halaman itu pada halaman 24 berisi tentang sejarah Negeri Pidie/Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur.
Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara.
Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.
Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.
Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.
Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indra mengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu,
Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan Sama Indra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.
Setelah kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Aceh selanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.
Meski sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat Kerajaan Aceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.
Masih menurut M Junus Djamil, setelah Sultan Mahmud II Alaiddin Jauhan Syah raja Kerajaan Aceh Darussalam Mangkat, maka Sultan Husain Syah selaku Maharaja Pidie diangkat sebagai penggantinya. Ia memerintah Kerajaan Aceh dari tahun 1465 sampai 1480 Masehi. Kemudian untuk Maharaja Pidie yang baru diangkat anaknya yang bernama Malik Sulaiman Noer. Sementara putranya yang satu lagi, Malik Munawar Syah diangkat menjadi raja muda dan laksamana di daerah timur, yang mencakup wilayah Samudra/Pase, Peureulak, Teuminga dan Aru dengan pusat pemerintahan di Pangkalan Nala (Pulau Kampey). [Iskandar Norman]
bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah
- ← Sebelumnya
- 1
- …
- 5
- 6