sejarah aceh

Mengenang Tragedi Beutong Ateuh

Posted on Updated on

Selain menguras habis kekayaan alam Aceh, rezim Suharto juga melancarkan genosida atas Muslim Aceh. Yang terkenal adalah masa DOM atau Operasi Jaring Merah (1989-1998). Banyak peneliti DOM sepakat jika kekejaman rezim ini terhadap Muslim Aceh bisa disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan Milisi Serbia terhadap Muslim Bosnia di era 1990-an. Wilayah NAD yang sangat luas, sekujur tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim Aceh yang berabad-abad hidup dalam izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis Suharto serendah-rendahnya.
Jika Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki The Killing Fields atau Ladang pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja.
Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim Suharto, sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan Mongol.
Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman dan kebiadaban yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya merupakan bukti.
Lengsernya Suharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif ala Orde Baru. Para presiden setelah Suharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru ini. Salah satu buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun malah tetap abadi dan berkembang penuh inovasi.
Sebab itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercerabutnya teror dan kebiadaban yang selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh menulis secara khusus tentang Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Dalam artikel berjudul ‘Jubah Putih di Beutong Ateuh’, Feri mengawali dengan kalimat, “Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan…”
Eramuslim yang pernah mengunjungi hutan belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah tragedi, menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun juga nyaris di seluruh wilayah Aceh. Kemiskinan ada di mana-mana, padahal tanah Aceh adalah tanah yang sangat kaya raya dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan Aceh!
Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh, kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi tulisan “TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”. Sekitar 10 kilometer dari kompi itu terpancang sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan “SIMPANG CAMAT”; tanda menuju ke sebuah pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata memandang hanya tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga. Tak heran jika hutan Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai pertahanan terakhir.
Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan langsung dengan sungai Beutong terlihat jelas.
Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, seni bela diri, dan juga berkebun dengan menanam berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.
Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Selain mereka yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di pesantren.
Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak. “Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di sini,” tulis Feri Kusuma.
Bantaqiah adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia. Baginya, dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu dia pernah menolak bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke dalam partai politik mana pun. Baginya, Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang lain. Sebab itu, Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya. Ia dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan Gerombolan Jubah Putih.
Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah dengan membangunkan sebuah pesantren untuknya, namun lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul Al Nurillah. Ini membuatnya menolak “pesantren sogokan” tersebut. Hal ini membuat hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah setempat kurang harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi GAM pada 192 dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.

Ketika Habibie menggantikan Suharto dan menyempatkan diri ke Aceh, Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini rupanya tidak berkenan di hati tentara hasil didikan rezim Suharto.
Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama saja dengan kelompok-kelompok bersenjata Aceh yang tidak mau menerima Pancasila. Sebab itu keberadaannya harus dienyahkan dari negeri Pancasila ini. Para tentara Suharto itu lupa, berabad-abad sebelum Pancasila lahir, berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir, Nanggroe Aceh Darussalam sudah menjadi sebuah negeri merdeka dan berdaulat lengkap dengan Kanun Meukota Alam, sebuah konstitusi yang sangat lengkap. Bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD 1945 yang diamandemen di tahun 2002.
Sebab itu, pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti angkatan darat dan Brimob mendirikan banyak tenda di sekitar pegunungan Beutong Ateuh. Walau warga setempat curiga, karena pengalaman membuktikan, di mana aparat bersenjata hadir dalam jumlah banyak, maka pasti darah rakyat tumpah, namun warga tidak bisa berbuat apa-apa. Firasat warga sipil terbukti. Tiba-tiba di hari itu juga terjadi insiden penembakan terhadap warga yang tengah mencari udang. Satu luka dan yang satu lagi berhasil menyelamatkan diri masuk hutan. Teror ini meresahkan warga.
Sedari subuh keesokan harinya, Jumat pagi, 23 Juli 1999, TNI dan Brimob sudah bergerak diam-diam mendekati pesantren dengan perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti senjata api sudah terisi amunisi siap tembak. Pukul 08.00 tentara dan Bribom sudah berada di seberang sungai dekat pesantren. Dengan alasan mencari GAM, pada pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang letaknya hanya 100 meter di timur pesantren. Satu jam kemudian, pasukan tersebut mulai bergerak ke pesantren. Dengan seragam tempur lengkap dengan senjata serbu laras panjang, wajah dipulas dengan cat kamuflase berwarna hijau dan hitam, mereka mengepung pesantren dan berteriak-teriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka.
Menjelang waktu sholat Jumat, para santri biasa berkumpul dengan Tengku Bantaqiah guna mendengar segala nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan dari tentara yang menyebut-nyebut namanya, Bantaqiah pun datang bersama seorang muridnya. Aparat bersenjata itu tidak sabaran. Mereka merangsek ke dalam dan memerintahkan semua santri laki-laki untuk berkumpul di lapangan dengan berjongkok menghadap sungai.
Aparat dengan suara keras dan mengancam meminta agar Bantaqiah menyerahkan senjata apinya. Tengku Bantaqiah bingung karena memang tidak punya senjata apa pun, kecuali hanya pacul dan parang yang sehari-hari digunakan untuk berkebun dan membuka hutan. Aparat tidak percaya dengan semua keterangan Bantaqiah. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren dijadikan bukti oleh aparat jika selama ini Bantaqiah menjalin komunikasi dengan GAM. Padahal itu antene radio biasa.
“Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan,” tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul “Jubah Putih di Beutong Ateuh”.
Melihat anaknya terjatuh, secara refleks Bantaqiah berlari mendekatnya hendak menolong. Tiba-tiba tentara memberondongnya dengan senjata yang dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah dan puteranya syahid. Dengan membabi-buta, aparat murid dari Jenderal Suharto ini mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri. Lima puluh enam santri langsung syahid bertumbangan. Tanah Aceh kembali disiram darah para syuhadanya. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah, yang berada di tengah rimba.
Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah seorang santri langsung terjun ke jurang dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah sana. Para tentara mengguyur jurang itu dengan tembakan. Nasib para santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat dugaan, para santri ini dibantai aparat Suharto dan dibuang ke jurang.
Sore hari, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad yang ada. Para perempuan digiring menuju mushola yang ada di seberang sungai dan dilarang melihat prosesi penguburan. Aparat bersenjata ini kemudian mengamuk di pesantren. Mereka merusak dan menghancurkan semua yang ada, mereka membakar kitab-kitab agama termasuk kitab suci al-Quran dan surat Yasin yang ada di pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah, aparat bersenjata didikan Suharto ini, kemudian kembali ke barak dengan sejumlah truk, meninggalkan warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan berdoa.
Setelah tragedi tersebut, warga Beutong Ateuh hanya bisa pasrah berdiam diri. Dengan segenap daya dan upaya, para santri yang tersisa—kebanyakan perempuan tua dan anak-anak kecil—membangun kembali pesantren tersebut dan meneruskan pendidikan dengan segala keterbatasan. Sampai kini, pesantren ini belum memiliki cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran, kitab-kitab kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga barang-barang lain seperti seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan sebagainya yang musnah terbakar. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun pelaku pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang diseret ke pengadilan. Tidak ada satu pun komandan tentara yang dimintai pertanggungjawaban atas ulahnya membakar kitab suci Al-Qur’an dan surat Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran. Mungkin tengah menanti hukum Allah SWT atas ulah mereka. Sama seperti guru mereka: Jenderal Suharto.
Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di antara jutaan tragedi kekejaman rezim Suharto terhadap Muslim Aceh. Anehnya, sampai detik ini tidak ada satu pun pejabat pemerintah, sipil maupun militer, yang terlibat kejahatan HAM sangat berat atas Muslim Aceh yang diseret ke pengadilan. Mereka masih bebas berkeliaran dan bahkan banyak yang masih bisa hidup mewah dengan menikmati kekayaan hasil jarahan atas kekayaan bumi Aceh.

sumber: atjehcyber.tk

bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah

Hakikatnya Aceh Tak Pernah Berontak

Posted on Updated on

Dari seluruh daerah di Nusantara, perlawanan Rakyat Aceh merupakan perlawanan terhebat dan terdahsyat yang pernah dihadapi kolonialis Belanda saat hendak menguasai seluruh wilayah Nusantara. Aceh adalah Kerajaan Islam Besar yang telah berdaulat berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Bahkan wilayah ini bersama dengan kerajaan-kerajaan Islam di Jazirah Al-Mulk (Maluku) masuk di dalam wilayah perlindungan Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah.

Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Aceh, kita sering mendengar istilah ‘Pemberontakan Rakyat Aceh’ atau ‘Pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah—terutama dari Jawa—dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI.

Namun istilah tersebut sesungguhnya bias dan tidak tepat? Karena sesungguhnya—dan ini fakta sejarah—bahwa Aceh sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda.
NKRI secara resmi merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Berabad-abad sebelum UUD 1945 lahir, Aceh telah memiliki Qanun Meukuta Alam, sebuah konstitusi yang sangat lengkap sehingga kerajaan-kerajaan Islam tetangga pun mengcopy-pastenya seperti yang dilakukan Kerajaan Islam Brunei Darussalam. Qanun Meukuta alam ini sangat lengkap dan detil, jauh lengkap ketimbang UUD 1945 bahkan yang sudah “dibongkar” (amandemen) seperti sekarang ini. Memiliki hukum kenegaraan (Qanun) nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah. 
Bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20?
Istilah “Indonesia” sendiri lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedangkan “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendirisaja belum-lah mampu melakukannya. Literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh dan Bangsa Aceh”, namun tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Sampai saat ini yang ada hanya Rakyat Aceh. Karena Aceh sedari dulu memang sebuah bangsa yang telah berdaulat.
Kerajaan Aceh Darussalam, sebuah negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negeri ini. Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang berdasarkan Islam.
Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak Rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Ketika pemerintah pusat di Yogya ditangkap Belanda dalam perang mempertahankan kemerdekaan, dibentuklah PDRI (Pemerintahan Darurat RI) yang berpusat di Bukittingi, Sumatera Barat. Yang tidak diketahui khalayak banyak, semua pengeluaran dan dana operasionil PDRI ini dibiayai oleh rakyat Aceh.
Dari dana operasionil Staf Angkatan Laut, dan Staf Angkatan Udara, misi diplomasi Dr. Soedarsono ke India dan L. N. Palar di markas besar PBB di New York, AS, dana operasional perwakilan RI di Penang dan Singapura, ongkos pengeluaran duta keliling RI Haji Agus Salim dan biaya konferensi Asia di New Delhi, India, seluruhnya juga ditanggung oleh rakyat Aceh.
Belum cukup dengan segala pengorbanan itu semua, rakyat Aceh juga dengan ikhlas membeli dua buah pesawat terbang untuk dihibahkan kepada pemerintah pusat. Pembelian pesawat ini memakai mata uang dollar yang diperoleh dari hasil sumbangan rakyat Aceh.
Para perempuan Aceh melepas cincin, kalung, anting, dan segala perhiasan emas peraknya yang kemudian dikumpulkan untuk ditukar dengan uang. Uang itulah yang digunakan untuk membeli pesawat yang diberi namaSeulawah yang berarti “Gunung Emas”. 

Kesediaan rakyat Aceh mendukung perjuangan bangsa Indonesia, bahkan dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap sumber daya manusia dan hartanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia—lebih dari daerah mana pun di seluruh Nusantara, adalah semata-mata karena rakyat Aceh merasakan ikatan persaudaraan dalam satu akidah dan satu iman dengan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim. Ukhuwah Islamiyah inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dengan bangsa Indonesia. 
Latar belakang pembelian dua pesawat ini sungguh-sungguh mengharukan: Bulan Juni 1948, Soekarno berkunjung ke Aceh. Dalam suatu pertemuan di Hotel Aceh, 16 Juni 1948, Bung Karno berkata, “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk memperkuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan pulau.” Hanya dalam hitungan jam setelah Bung Karno menyatakan hal itu, pengusaha-pengusaha Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) menggelar pertemuan khusus. Mereka sepakat rakyat Aceh akan bersatu mengumpulkan uang dan segala perhiasan emas perak untuk membeli pesawat.
Dalam waktu dua hari terkumpul dana sekitar 130.000 Straits Dollar (Dollar Singapura). Ketua Gasida, Muhammad Juned Yusuf, beserta beberapa anggota Panitia Dana Dakota pada tanggal 1 Agustus 1948 segera berangkat ke Singapura dengan membawa dana tersebut dan emas seberat dua kilogram.
Semua itu diserahkan kepada Ketua Komisi Pembelian Pesawat Opsir Udara II Wiweko. Setelah memakan waktu sekitar tiga bulan, sebuah pesawat Dakota tiba ke tanah air pada Oktober 1948. Pesawat tersebut diberi nomor registrasi RI-001 sebagai nomor pesawat khusus VIP. Inilah yang kemudian diberi nama Seulawah alias Gunung Emas. Sedang pesawat yang satunya tidak diketahui apa dan bagaimana keberadaannya hingga kini.
Bulan November 1948, Bung Hatta berkeliling Sumatera setelah melalui Magelang, Yogyakarta, Jambi, Payakumbuh, dan Banda Aceh, lalu pulang kembali ke Yogya. Setelah melakukan penerbangan selama 50 jam terbang, maka pada 6 Desember 1948 Seulawah diterbangkan ke Calcuta, India, untuk menjalani pemeriksaan dan perawatan.
Tanggal 20 Januari 1949, Seulawah selesai dirawat. Namun karena situasi di tanah air tidak memungkinkan, maka atas seizin pemerintah Burma, Seulawah diizinkan mendarat di Rangoon dan di negeri ini Seulawah melayani penerbangan sipil lebih kurang satu setengah tahun lamanya untuk menghimpun dana perjuangan bagi Republik Indonesia. Pada 2 Agustus 1950 Seulawah tiba kembali ke tanah air melewati rute Rangoon, Bangkok, Medan, dan mendarat di Bandung sehari setelahnya. Seulawah inilah cikal bakal perusahaan penerbangan niaga Indonesia pertama yang kemudian menjelma menjadi Garuda Indonesian Airways. 

Saat Yogyakarta dikembalikan kepada republik, pemerintah RI sama sekali tidak punya uang untuk menggerakkan roda pemerintahannya. Dari Aceh, lagi-lagi, rakyatnya menggalang dana yang segera dialirkan ke Yogyakarta. Berbagai sumbangan berupa uang, alat tulis, alat-alat kantor seperti mesin tik dan sebagainya, serta obat-obatan, mengalir dari Aceh ke Yogya.
Bahkan rakyat Aceh kala itu menyumbangkan emas batangan seberat 5 kilogram kepada pemerintah pusat. Yang terakhir ini pun menguap entah kemana. Rakyat Aceh juga sangat prihatin dengan kondisi kesehatan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dikenal sebagai panglima yang sholih dan taat agama, sebab itu dari Aceh dikirimkan 40 botol obat suntik streptomisin guna mengobati penyakit paru-paru beliau. 
Inilah wujud nasionalisme rakyat Aceh yang sangat tinggi dalam mempertahankan keberadaan Republik Indonesia yang kala itu masih berusia sangat muda dan sangat lemah. Tidak berlebihan kiranya, tanpa solidaritas Muslim Aceh, pemerintah Republik Indonesia akan sangat sulit mempertahankan dirinya, bahkan tidak mungkin akan lenyap ditelan keganasan Belanda.
Bung Karno pun saat itu menjuluki Aceh sebagai daerah modal bagi perjuangan Republik Indonesia. Bahkan dalam kunjungan pertamanya ke Aceh tahun 1948, kepada tokoh Aceh Teungku Muhammad Daud Beureueh, Bung Karno berjanji akan mendukung penerapan syariat Islam di seluruh wilayah Aceh. Sesuatu yang memang menjadi urat nadi bangsa Aceh. Sesuatu yang tidak lama kemudian dikhianati Bung Karno sendiri. Bahkan secara sepihak hak rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dilenyapkan. Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Hal ini jelas amat sangat penghinaan harga diri Rakyat Aceh.

Dengan kebijakan ini, pemerintah Jakarta sangat gegabah karena sama sekali tidak memperhitungkan sosio-kultural dan landasan historis rakyat Aceh. Bukannya apa-apa, ratusan tahun lalu ketika rakyat Aceh sudah sedemikian makmur, ilmu pengetahuan sudah tinggi, dayah dan perpustakaan sudah banyak menyebar seantero wilayah, bahkan sudah banyak orang Aceh yang menguasai bahasa asing lebih dari empat bahasa, di wilayah pedalaman sumatera pada waktu itu, manusia-manusia yang mendiami wilayah itu masih berperadaban purba. Masih banyak suku-suku kanibal, belum mengenal buku, apa lagi baca-tulis. Hanya wilayah pesisir yang sudah berperadaban karena bersinggungan dengan para pedagang dari banyak negeri.
Saat perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda pun, bantuan dari Aceh berupa logistik dan juga pasukan pun mengalir ke Medan Area. Bahkan ketika arus pengungsian dari wilayah Sumatera Utara masuk ke wilayah Aceh, rakyat Aceh menyambutnya dengan tangan terbuka dan tulus. Jadi jelas, ketika Jakarta malah melebur Aceh menjadi Provinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh amat tersinggung.
Tak mengherankan jika rakyat Aceh, dipelopori PUSA dengan Teungku Daud Beureueh, menarik kembali janji kesediaan bergabung dengan Republik Indonesia di tahun 1953 dan lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih dulu diproklamirkan S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ini semata-mata demi kemaslahatan dakwah dan syiar Islam. Dengan logika ini,Aceh bukanlah berontak atau separatis, tapi lebih tepat dengan istilah: menarik kembali kesediaan bergabung dengan republik karena tidak ada manfaatnya.
Pandangan orang kebanyakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureuehdan pengikutnya tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan a-historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa rakyat Aceh danDaud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi rongrongan konspirasi Barat.
Mengatakan Aceh pernah melakukan pemberontakan terhadap NKRI merupakan cara pandang yang berangkat dari paradigma ‘Majapahitisme’. Bukan hal yang perlu ditutup-tutupi bahwa cara pandang Orde Lama maupun Baru selama ini terlalu Majapahitisme’, semua dianggap sama dengan kultur Hindu. Bahkan simbol-simbol negara pun diistilahkan dengan istilah-istilah sansekerta, yang kental pengaruh Hindu dan paganisme yang dalam Akidah Islam dianggap sebagai syirik, mempersekutukan Allah SWT dan termasuk dosa yang tidak terampunkan.
Bukankah suatu hal yang amat aneh, suatu negeri mayoritas Islam terbesar dunia tapi simbol negaranya sarat dengan istilah Hindu. Ini merupakan suatu bukti tidak selarasnya aspirasi penguasa dengan rakyatnya. Padahal Islam tidak mengenal, bahkan menentang mistisme atau hal-hal berbau syirik lainnya. Rakyat Aceh sangat paham dan cerdas untuk menilai bahwa hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.
Sosio-kultural raja-raja dan masyarakat Jawa sampai saat ini sangat kental dengan nuansa Hinduisme, ini bisa dilihat dari berbagai macam Ritual dalam budaya masyarakat di Jawa hingga saat ini. Raja merupakan titisan dewa, suara raja adalah suara dewa. Sebab itu, istilah “Sabda Pandhita Ratu” yang tidak boleh dilanggar. Ini sangat bertentangan dengan sosio-kultural para Sultan dan Sultanah di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam Islam, penguasa adalah pemegang amanah yang wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari akhir kelak kepada Allah SWT.
Jadi, jelaslah bahwa sosio-kultur antara Aceh dengan kerajaan-kerajaan Hindu amat bertolak-belakang. Aceh bersedia mendukung dan menyatukan diri dengan NKRI atas bujukan Soekarno, semata-mata karena meyakini tali ukhuwah Islamiyah. Namun ketika Aceh dikhianati dan bahkan di masa Orde Lama maupun Orde Baru diperah habis-habisan seluruh sumber daya alamnya, disedot ke Jawa, maka dengan sendirinya Aceh menarik kembali kesediaannya bergabung dengan NKRI. Aceh menarik kembali kesepakatannya, bukan memberontak. Ini semata-mata karena kesalahan yang dilakukan “Pemerintah Jakarta” terhadap Aceh.
Dan ketika Aceh sudah mau bersatu kembali ke dalam NKRI, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia meletakkan senjatanya dan memilih jalan berparlemen, Aceh sekarang dipimpin seorang putera daerahnya lewat sebuah pemilihan yang sangat demokratis, maka sudah seyogyanya RI memperlakukan Aceh dengan sangat adil dan proporsional.
Puluhan tahun sudah Aceh menyumbangkan kekayaannya untuk kesejahteraan seluruh Nusantara, terutama Tanah Jawa, maka sekarang sudah saatnya “Jawa” membangun Aceh. Semoga ‘kesepakatan’ ini bisa menjadi abadi, semata-mata dipeliharanya prinsip-prinsip keadilan dan saling harga-menghargai.

Media Rujukan Islam, eramuslim.com

bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah

Kisah Cinta Teuku Umar dan Tjut Nyak Dhien

Posted on Updated on

Teuku Umar : “Bah Matéé Lôn, Cut Nyak Tulak Cinta Lôn…”

Kekecewaan dan kesedihan akibat ditinggal suaminya Ibrahim Lamnga dan darah kepahlawanan yang mengalir dari keluarganya menjadi dasar kuat bagi Cut Nyak Dhien. Teuku Ibrahim Lamnga itu mati syahid dalam perang lawan belanda di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal inilah yang membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Bahkan ia pernah berjanji akan bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut bela terhadap kematian suaminya. Adalah suatu hal yang tepat bila kemudian datang seorang laki-laki yang bersedia membantu Cut Nyak Dhien membalaskan dendam kepada Belanda, setelah bertahun-tahun menjanda.
Selama sepeninggal suaminya itu, cut nyak dhien-lah yang memimpin pasukan perang. Sempat terfikir dalam benaknya, siapa kiranya yang bisa memimpin pasukan perang ini. Cut Nyak Dhien melakukan penelitian siapakah yang pantas dan sanggup memimpin pasukan perang yang dididiknya, yang sudah ditinggal kan almarhum Teuku Ibrahim Lamnga.

Setelah bertahun-tahun menjanda. Suatu ketika, Datanglah seorang lelaki Ia di gelar Teungku di Meulaboh. Ternyata, Lelaki ini jatuh Hati pada saat pandangan pertama kali melihat Cut Nyak Dhien. Dialah Teuku Umar dari Meulaboh. Teuku Umar pun akhirnya berniat melamar Cut Nyak Dhien.

Teuku Umar :  Saya bersedia menjadi panglima perang pasukan ini. Namun, dengan syarat Cut Nyak Dhien bersedia menjadi isteri saya.”

Terkejutlah Cut Nyak, Lamaran tersebut langsung ditolak Cut Nyak mentah-mentah.

Mendengar penolakan itu, Teuku Umar patah hati hanya menarik nafas panjang karena cintanya di tolak Cut Nyak.

Rupanya, Semangat Teuku Umar untuk berusaha mendapatkan Cinta Cut Nyak tidak kandas begitu saja. Sangking begitu besar Cintanya itu, akhirnya Teuku Umar membuat sebuah adegan (rekayasa), hanya demi mendapatkan perhatian dari Cut Nyak Dhien.

Suatu hari Cut Nyak Dhien sedang melatih pasukan berpedang. Tiba-tiba, Lewatlah orang yang begitu banyak sambil mengangkat tandu, Segera Cut Nyak lari mendekat, dan menghentikan mereka.

Cut Nyak : Pakôn nyôe? (kenapa ini?)’

Ia melihat Teuku Umar di atas tandu berdarah-darah hampir meninggal.

Teuku Umar : Lôn meujak Woe (saya mau pulang)’, jawab Teuku Umar.

Cut Nyak : Bék, ta peu ubat dile nyoe. Meusti ta peubat diléé. Bék putoh asa.’ ( Jangan, kita obati dulu, harus kita obati ini, Jangan putus asa).’ Kata cut Nyak dhien dengan gelisah

Teuku Umar : Bah matéé lon, Cut Nyak tulak cinta lôn, (Biarkan saja saya mati, Karena Cut Nyak Tolak Cinta saya)’, kata Teuku Umar dengan nada seperti orang putus asa.

Cut Nyak : Ta peu ubat nyoe diléé, euntrek ta peu buet nyan ( kita obati ini dulu, nanti baru kita urus yang itu )’’ jawab Cut Nyak Dhien.

Teuku Umar : Hana peu, Cut Nyak jôk manteung ubat nyan keu lôn (Tak Apa, Cut Nyak beri saja obat itu ke saya)’ kata Teuku Umar.

Setelah beberapa hari dan Teuku Umar pun sembuh dari luka tipu-tipunya. Datanglah teuku Umar menagih janji pada Cut Nyak Dhien.

Teuku Umar :Cut Nyak kaleuh meujanji ngon lôn (Cut nyak sudah berjanji dengan saya)’

Cut Nyak Dhien ini wanita saleh, tegas, satu kata dengan perbuatan. Kemudian, Cut Nyak terpaksa dipenuhinya janjinya tadi. Akhirnya Menikahlah Cut Nyak dengan teuku Umar.

Bersatunya dua Sejoli ini mengobarkan kembali semangat juang rakyat Aceh. Kekuatan yang telah terpecah kembali dipersatukan.

Pada satu waktu Teuku Umar sedang mandi, Di lihatlah dengan teliti oleh Cut Nyak Dhien, Dimanalah bekas luka ditusuk belanda hingga berdarah-darah kemarin itu.

Cut Nyak ; Ampôn, pat luka ditusôk léé belanda sampoe meudarah-darah watéé nyan?(ampon, dimana luka ditusuk belanda sampai berdarah-darah waktu itu?)’

Teuku Umar pun tersenyum “Nyengir“.

Teuku Umar : Hana nyan, nyan kôn bah Cut Nyak teum ngon lon‘ ( Ndak ada, itukan supaya Cut Nyak mau menikah dengan saya)’ kata Teuku umar sambil senyum tertawa.

Cut Nyak : Ka ditipee lon léé ampon nyoe‘ (Sudah ditipu saya sama ampon ini)’

Itulah yang dimaksud teuku Umar banyak sekali akal. Termasuk akhirnya belanda pun pernah di tipu olehnya.

bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah

Hubungan Pasai dan Majapahit

Posted on Updated on


Ratu Nur Ilah merupakan salah satu penguasa perempuan yang terkenal dalam sejarah Kerajaan Pasai. Ia mangkat pada tahun 1380 Masehi. Ia diangkat menjadi ratu setelah Pasai diserang oleh Majapahit.

Mengenai sejarah perempuan perkasa ini sudah banyak ditulis oleh para ahli sejarah, diantara Dr Hoesein Djajaninggrat, yang langsung meneliti pahatan tulisan beraksara Arab di makanya. Kemudian Dr Othman M Yatim pakar arkeologi Islam Malaysi bersama Abdul Halim Nasir.

Menurut mereka, inskripsi yang terdapat pada nisan yang bertulisan Arab menyebutkan angka tahun mangkat sang Ratu yaitu Jumat 14 Zulhijah tahun 791 Hijrah, sedangkan yang tertera pada nisan yang berhuruf Jawa Kuno terpahat tahun 781 Hijrah. Jadi, antara kedua nisan itu terdapat selisih 10 tahun.

Menurut Dr W F Stutterheim, hal itu terjadi karena kesilapan pemahat sehingga, baginya, tahun yang tertera pada nisan yang bertulisan Jawa Kuno, yang bertepatan dengan tahun 1380 Masehi tersebut, merupakan tahun mangkatnya Ratu itu. Tulisan Jawa Kuno yang terpahat pada nisan yang sebuah lagi telah diteliti oleh Stutterheim dan dimuat dalam Acta Orientalia, Leiden, tahun 1936.

Hooykaas menerjemahkan syair di nisan itu sebagai berikut : “Ssetelah hijrah Nabi, kekasih, yang telah wafat, tujuh ratus delapan puluh satu tahun, bulan Zulhijah , 14, hari Jumat, Ratu iman Werda rahmat Allah bagi Baginda, dari suku Barubasa [di Gujarat], mempunyai hak atas Kedah dan Pasai, menaruk di laut dan darat semesta, ya Allah, ya Tuhan semesta, taruhlah Baginda dalam swarga Tuhan.’’

Prof Dr T Ibrahim Alfian adalam tulisannya dimuat dalam buku Wanita-wanita Perkasa di Nusantara, data lain yang berkaitan dengan sang Ratu, maupun yang berhubungan dengan takluknya Kedah kepada Pasai, sampai sejauh ini belumlah ditemukan, kecuali informasi dari nisan Ratu Nurilah yang tersebut di atas.

Meskipun demikian, pertalian kebudayaan antara Pasai dan Kedah telah terjalin lama seperti yang terlihat, antara lain, dari persamaan istilah untuk menyukat hasil-hasil pertanian, misalnya padi dan beras. “Stutterheim juga menganggap penyebutan dua kerajaan itu sangat menarik karena antara Pasai dan Kedah di waktu kemudian terdapat hubungan dagang, mengingat, di Selat Malaka, letaknya berseberangan. Mungkin hubungan inilah yang masih tersisa dari kesatuan Kerajaan Sriwijaya dan Kadara masa lalu, yaitu Sumatra dan Malaya,” jelasnya.

Namun yang menjadi pertanyaan baginya adalah mengapa di antara nisan Ratu Nur Ilah ini terdapat tulisan Jawa Kuno? Ratu Nurilah, sebagaimana disebutkan di atas, mangkat pada tahun 1380, masa Kerajaan Majapahit diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk. “Patut dicatat bahwa Majapahit berada dalam puncak kejayaan pada pertengahan abad XIV berkat pimpinan Mahapatih Gadjah Mada. Dalam kitab Negarakrtagama yang digubah oleh Prapanca pada tahun 1365 disebutkan bahwa Samudra, tepatnya Samudra Pasai, adalah salah satu daerah yang ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit,” ungkapnya dalam tulisan tersebut.

Kemudian ia melanjutkan, sumber lain mengenai adanya serangan Majapahit terhadap Pasai terdapat dalam Kronika Pasai atau Hikayat Raja-raja Pasai. Meskipun tidak menyebutkan angka tahun penyerangan itu, hikayat ini masih memberikan indikasi waktu, yaitu dengan menceritakan nama raja yang berkuasa pada waktu serangan itu terjadi, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Ahmad.

Hikayat Raja-raja Pasai mengisahkan bahwa setelah tiga hari tiga malam berperang, kalahlah Pasai sehingga rakyat lari cerai berai. Laskar Majapahit masuk ke dalam kota Pasai dan menduduki istana Sultan Ahmad. Banyak rampasan dan tawanan yang mereka peroleh. Sultan Ahmad meninggalkan istana, melarikan diri ke suatu tempat kira-kira lima belas hari perjalanan dari negeri Pasai.

Setelah beberapa lama di Pasai, segala menteri punggawa dan rakyat Jawa dikerahkan oleh Senapati mereka naik ke bahteranya masing-masing, kembali ke Jawa, dengan memuat segala harta rampasan yang begitu banyak. Setelah sampai ke Majapahit, menurut Hikayat Raja-raja Pasai, Sang Nata bertitah, ‘’Akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, maka kesukaan hatinya’’. Titah itulah, kata Hikayat Raja-raja Pasai selanjutnya, yang menyebabkan ‘’maka banyak keramat di Tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu’’.

Dalam kaitan ini P De Roo de la Faille, dalam tulisannya ‘’Bij de Terreinschets van de Heilige Begraafplaats Goenoeng Djati’’, 1920, mengemukakan bahwa ditemukannya cungkub Puteri Cermen di desa Leran dengan candrasengkala 1313 atau 1308 Saka bertepatan dengan tahun 1391 atau 1386 Masehi menunjukkan telah adanya makam Islam di Gresik pada waktu itu. Hal itu, sesuai dengan dugaan de Roo de la Faile, bahwa koloni orang-orang Islam Gresik pada masa itu sesungguhnya berasal dari tawanan orang-orang Islam Pasai yang dibawa ke Majapahit.

Masih menurut Ibrahim Alfian, Dalam sebuah naskah Jawa, Tapel Adam, nama Pasai tercantum dalam sejarah pendakwah-pendakwah Islam pertama. Didalamnya diceritakan bahwa Syaikh Jumadilkubra adalah keturunan Zainul Abidin, sedangkan putera Jumadilkubra yang tertua adalah Maulana Ishak. ‘’wontening pase negeri, anyelammaken taiya, manjing Islam Nate Pase’’, dan puteranya yang kedua, Ibrahim Asmara, ‘’lumampah dateng Cempa’’.

Di dalam naskah Tapel Adam juga dikisahkan tentang Batara Majapahit yang memperisterikan puteri Raja Pasai dan saudara puteri itu datang ke Majapahit serta kemudian oleh Batara Majapahit dihadiahkan tanah Ampel-denta sebagai tempat kediamannya. Cerita seumpama ini terdapat pula dalam Hikayat Banjar yang juga akan dikemukakan di bawah ini.

Kemudian lanjut Ibrahim Alfian, pada akhir naskah Hikayat Raja-raja Pasai diceritakan sebagai berikut. ‘’Bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu [Raja] Negeri Majapahit kepada zaman pecahnya [kalahnya] Negeri Pasai, ratunya [rajanya] bernama Ahmad.’’

Cerita itu disertai dengan daftar nama-nama 35 buah negeri yang takluk kepada Majapahit, antara lain, untuk menyebutkan beberapa, Tiuman, Riau, Bangka, Sambas, Jambi, Kutai, Bima, Sumbawa, dan Seram. Hikayat Banjar juga menyebutkan bahwa yang takluk kepada Majapahit adalah Banten, Jambi, Palembang, Makasar, Pahang, Patani, Bali, Pasai, Campa, dan Minangkabau.

Nur Ilah Diangkat Jadi Ratu
Masih menurut Ibrahim Alfian, sebelum bala tentara Majapahit meninggalkan Pasai, kembali ke Jawa, rupanya pembesar-pembesar Majapahit telah mengangkat seorang raja, bangsawan Pasai, yang dapat dipercaya untuk memerintah Kerajaan Pasai. Raja ini tiada lain adalah Ratu Nur Ilah, keturunan Sultan Malikuzzahir, yang nisannya ditatah dengan huruf Jawa Kuno atas arahan yang diberikan oleh pembesar-pembesar Majapahit, tentunya.

Antara Kerajaan Majapahit dan Pasai terdapat hubungan persahabatan dan perdagangan yang sangat erat. Malaka yang mulai berkembang sebagai bandar dagang yang besar sekitar tahun 1400 Masehi mengakui peranan Pasai dan Majapahit dalam bidang perdagangan di Selat Malaka.

Tome Pires, yang menulis catatannya di Malaka dan India antara tahun-tahun 1512-1515 dalam Bahasa Portugis, dengan judul Suma Oriental, mengemukakan sebagai berikut. Malaka mengirim dutanya ke Majapahit untuk merayu Raja Jawa agar pedagang-pedagang Jawa mau melakukan kegiatan perdagangannya di Bandar Malaka. Raja Jawa mengemukakan kepada utusan Malaka itu, bahwa jung-jungnya telah lama sekali berlayar ke Pasai untuk berniaga dan ia mempunyai hubungan persahabatan yang erat dengan Pasai.

Di pelabuhan Pasai pedagang-pedagang Jawa memperoleh kedudukan istimewa dalam bentuk pembebasan dari keharusan membayar cukai impor serta ekspor dan perolehan barang dagangan yang baik dang menguntungkan. Raja Majapahit menambahkan, meskipun Raja Pasai menjadi vasal Majapahit, penentuan kebijaksanaannya dalam bidang perdagangan terserah kepada Raja Pasai sendiri. Ia sendiri tidak hendak menghapuskan kebiasaan yang telah lama ada dan telah disepakati sejak lama antara kedua kerajaan itu.

Setelah dutanya kembali ke Malaka, Raja Malaka mengirimkan pesan kepada Raja Pasai, mengharapkan kebaikannya agar menyetujui dan tidak berkecil hati jika Jawa berhubungan dagang dengan Malaka, serta memohon kebaikan Raja Pasai untuk megirimkan pedagang-pedagangnya beserta barang-barang dagangannya ke Malaka.

Raja Malaka juga menyampaikan bahwa ia telah mendapat jawaban dari Raja Majapahit, bahwa jika Raja Pasai bersetuju, Raja Majapahit akan berbesar hati. Raja Pasai kemudian mengirimkan utusannya ke Malaka untuk menyampaikan pesan bahwa Pasai tidak keberatan memenuhi permintaan Raja Malaka apabila Raja tersebut bersedia memeluk agama Islam. Akhirnya, Raja Malaka beserta segenap rakyatnya beriman akan Allah dan rasul-Nya dan sesudah itu banyak sekali pedagang Islam dari Pasai pindah berdagang ke Malaka, terutama bangsa Arab, Parsi dan Bengal.

Tautan antara Pasai dan Majapahit juga diungkapkan oleh Dr J J Ras dalam desertasinya yang dipertahankan pada tahun 1968 di Rijksuniversiteit Leiden, yaitu Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. Di dalamnya dikisahkan tentang Raja Majapahit yang belum Islam, yang mengirim utusannya untuk meminang putri Pasai. Meskipun raja Pasai itu beragama Islam, ia tidak kuasa menolaknya, takut diserang oleh Majapahit. Ia hendak memelihara rakyat dan negerinya dari kebinasaan. Di Majapahit puteri Pasai itu diberi tempat tinggal yang terpisah, tiada bercampur dengan gundik-gundiknya yang lain, agar tiada memakan makanan yang haram.

Selang beberapa waktu datanglah saudara Puteri Pasai, Raja Bungsu namanya. Setelah beberapa lamanya ia di Majapahit, ia ingin kembali ke Pasai. Puteri Pasai itu tiada sekali-kali ingin saudaranya pulang ke Pasai, karena ia tidak mempunyai sanak saudara di Majapahit. Oleh karena Raja Bungsu berkeras hendak pulang juga ke Pasai maka puteri itu merasa sangat sedih. Karena Raja Majapahit sangat sayang kepada Puteri Pasai itu, dimintanya kepada Raja Bungsu agar tinggal saja di Majapahit, agar Puteri itu tidak sampai jatuh sakit. Raja Majapahit bertitah jika Raja Bungsu bersedia tinggal di Majapahit, ia dapat mendirikan rumah ditempat mana saja yang disukainya.

Akhirnya Raja Bungsu memilih Ampel sebagai tempat kediamannya dan Raja Majapahit berkenan meluluskan permohonan Raja Bungsu itu. Ketika menebas hutan di dukuh Ampel itu, Raja Bungsu menemukan kayu gading yang kemudian dijadikan tongkat. Sejak itu, dukuh itu terkenal dengan nama Ampelgading hingga sekarang ini. Karena desa Ampel hendak memeluk agama Islam, Raja Bungsu mengirim utusannya untuk menyampaikan hasrat tersebut kepada saudaranya, Puteri Pasai, yang kemudian meneruskannya kepada suaminya, Raja Majapahit.

Sabda Raja Majapahit menurut Hikayat Banjar, berbunyi demikian: ‘’Katakan arah Bungsu, barang siapa handak masuk Islam itu terima masukkan Islam itu. Jangankan desa itu, maski orang dalam nageri Majapahit ini, namun ia hendak masuk Islam itu, masukkan’’. Setelah suruhan Bungsu kembali ke Ampel, seluruh penduduk Ampel memeluk agama Islam.[iskandar norman]
bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah

Memori Sulthan Iskandar Muda dan Tgk.Japakeh

Posted on Updated on

Penyerangan Kerajaan Aceh terhadap Semenanjung Malaya dilakukan dengan Ghali, yakni kapal perang besar dan Djong (perahu) yang dibeli dengan keuntungan dari perniagaan lada, Tgk Japakah ikut serat di dalamnya.

Dalam Hikayat Sulthan Aceh Iskandar Muda diceritakan, setelah saran-saran dari Putroe Phang, Sulthan Iskandar Muda meninggalkan istananya. Ia berangkat diiringi para menteri dan uleebalang serta bala tentaranya. Mereka berjalan melalui darat dana akan naik kapal di Kuala Jambo Aye. Kapal-kapal perang menyusuri pantai mengikuti rombongan Sulthan Iskandar Muda. Armada perang itu dinamai Cakra Donya.

Sampai di Negeri Pidie rombongan beristirahat. Panglima Pidie berserta rajanya menyatakan dukungan dan bergabung dengan armada Cakara Donya. Dari Pidie mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Negeri Meureudu.

Hal yang sama juga diungkapkan H M Zainudidn dalam buku “Singa Atjeh” terbitan Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1957. Dalam buku setebal 198 halaman itu perjalanan Sulthan Iskandar Muda ke beberapa daerah untuk mengumpulkan kekuatan menyerang Johor dan Malaka. Dalam perjalanannya, Iskandar Muda memberi nama beberapa daerah yang dilaluinya.

Penyerangan terhadap Semenanjung Malaya itu akan dilakukan dengan Ghali, yakni kapal perang besar dan Djong (perahu) yang dibeli dengan keuntungan dari perniagaan lada. Untuk mengumpulkan bala tentara tambahan maka perjalanan ke daerah-daerah dilakukan.

Para pembesar negeri, ulama dan para panglima dikumpulkan untuk menyokong penyerangan tersebut. Sulthan juga melakukan pertemua dengan empat kepala kaum di Aceh yaitu, kaum imum peut, kaum tok batee, kaum lhee reutoh dan kaum ja sandang. Tujuannya, bersepakat untuk menyerang Portugis yang telah lama mengganggu Kerajaan Aceh dan Semenanjung Malaya.

Setelah empat kaum itu dipertemukan dalam sebuah pertemuan, para pemuda direkrut menjadi angkatan perang untuk menambah barisan tentara kerajaan. Sulthan juga mengirim surat rahasia kepada para panglima di pelosok-pelosok Aceh untuk menyiapkan pasukannya.

Ketika persiapan dengan pusat kerajaan sudah dirasa memadai, dilakukan kenduri besar bersama rakyat. Para panglima berpidato membakar semangat tentara kerajaan untuk menuju Semenanjung Malaya. Sulthan memerintahkan angkatan lautnya untuk berangkat terlebih dahulu ke pesisir Timur dan berkumpul di Teluk Aru (Pulau Kampai) dan Asahan yang diiringi bersama oleh Panglima Deli.

Sementara Sulthan dan rombongannya mengambil jalan darat dengan menggunakan gajah. Sepanjang perjalanan ia mengumpulkan para prajurit dari setiap daerah yang sudah disiapkan oleh para panglimanya masing-masing. Sulthan Iskandar Muda ingin mengajak Panglima Pidie dan Panglima Meureudu untuk membantunya dalam misi tersebut.

Para panglima asal negeri Meurueudu dikenal sebagai orang yang berkarakter, suaranya keras, matanya kadang terbelalak kalau sedang marah. Maka orang-orang dari Meureudu dikenal sebagai orang yang mata hu su meutaga, yakni mata terbelalak dan bersuara keras. Hal ini secara historis menjadi karakter masyarakat di Negeri Meureudu yang bersikap tegas, disiplin dan konsekwen. Golongan dari merekalah yang banyak menjadi panglima.

Namun sikap yang mata hu su meutaga itu kadang juga muncul dalam kemarahan, emosional, mudah tersinggung, bahkan bengis ketika melawan musuh. Orang-orang yang mampu menjaga karakter itu pada tempatnyalah yang lebih banyak lulus sebagai perwira militer setingkat panglima di pusat pelatihan Raweu.

Pusdiklat Raweu itu dibangun oleh Tgk Japakeh, ulama besar di Negeri Meureudu yang diangkat sebagai penasehat kerajaan pada masa Sulthan Iskandar Muda memerintah Aceh. Kala itu Sulthan Iskandar Muda hendak menyerang Johor dan Malaka, ia bergerak menuju Negeri Meureudu untuk menjumpai Tgk Japakeh yang akan diangkat sebagai penasehat perang, ahli siasat militer.

Keberadaan Pusdiklat Raweu di Negeri Meureudu membuat Kerajaan Aceh begitu tergantung padanya. Untuk mengembangkan Pusdilkat Raweu menjadi pusat pelatihan yang lebih baik, Sulthan Aceh menjalin kerjasama dengan Turki. Malah Tgk Japakeh yang bernama asli Jalaluddin merupakan ulama dan diplomat yang memiliki garis keturunan dengan Bangsa Turki. Ia berasal dari Khoja Faqih Turki, namun orang-orang di Meureudu suka memanggilnya dengan nama yang singkat Japakeh yang bermakna Tgk Jalaluddin dari Faqih.

Ketika pertama datang ke Negeri Meureudu, Tgk Japakeh menetap di Raweu di lembah hulu sungai Meureudu, sekitar 40 kilometer arah selatan pusat pemerintahan Negeri Meureudu, yang berbatasan langsung dengan Aceh Barat. Sulthan Iskandar Muda datang ke Negeri Meureudu untuk menjemput Tgk Japakeh. Ia akan diangkat sebagai penasehat militer dalam misi perang menyerang Johor dan Malaka.

Tgk Japakeh bersama rakyat Raweu membawa hasil pertanian, turun ke pusat Negeri Meureudu untuk menyambut kedatangan Sulthan Iskandar Muda, tapi sampai pada waktu yang ditentukan, Raja Aceh itu tidak muncul. Tgk Japakeh memerintahkan masyarakat Raweu untuk kembali, sehingga ketika Sulthan Iskandar Muda tiba, tak ada yang menyambutnya.

Sulthan Iskandar Muda kemudian mengirim utusan ke Raweu untuk menjemput Tgk Japakeh. Rakyat Raweu pun kembali turun bersama Tgk Japakeh membawakan hasil pertanian sebagai persembahan bagi raja agung itu. Ia meminta maaf tentang hal itu. Namun Sulthan Iskandar Muda menolaknya, ia marah besar karena sudah seminggu berada di Meureudu tak ada yang menyambutnya.

Melihat Sulthan Iskandar Muda marah, maka Tgk Japakeh dengan bersuara lantang di hadapan raja memerintahkan kepada warga Raweu untuk mengambil kembali barang bawaannya. “Ambil kembali barang itu, mari kita kembali ke Raweu, tak perlu kita memuliakan orang yang tidak mau menerima hormat kita. Raja yang ingkar janji yang datang tidak pada waktu yang dijanjikannya,” perintah Tgk Japakeh.

Mendengar suara Tgk Japakeh yang bengis dan lantang itu, Sulthan Iskandar Muda menyadari kesalahannya. Ia membujuk Tgk Japakeh agar tidak kembali ke Raweu dan mau ikut dengannya sebagai penasehat militer untuk misi menyerang Johor dan Malaka.

Tgk Japakeh mengiyakan permintaan Sulthan Iskandar Muda tersebut dengan syarat, orang Meureudu harus diangkat menjadi panglima dalam perang tersebut. Ia merekomendasikan Tgk Chik Pante Geulima, yang setelah penyerangan ke Johor dan Malaka itu menulis hikayat Malem Dagang dengan 2.695 bait yang menceritakan kisah armada Iskandar Muda dalam perang tersebut.

Tgk Japakeh dan Malem Dagang memiliki watak keras, dua ulama Negeri Meureudu tersebut, yang berani bersikap lantang di hadapan Sulthan selama sikap yang diyakininya itu benar. Sebagaimana lantangnya Tgk Japakeh terhadap Sulthan Iskandar Muda.

Tgk Chik Pante Geulima lahir pada tahun 1839 di kampung Pante Geulima. Ia pernah belajar di Pusat Pendidikan Islam Dayah Pante Geulima yang dipimpin ayahnya sendiri Teungku Chik Ya’kub. Selain itu itu, ia juga pernah mengikuti pendidikan militer di pusat pelatihan Askar (tentara) Aceh, Makhad Baital Makdis di Raweu.[iskandar norman]

bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah

Rapat Sulthan di Negeri Meureudu

Posted on Updated on

H M Zainuddin dalam buku Singa Atjeh terbitan Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1957 megnisahkan, sepanjang perjalanan dari pusat kerajaan di Bandar Darussalam sampai ke Negeri Pidie dan Meureudu, parade tentara kerajaan bersama Sulthan singgah untuk rehat di beberapa tempat.

Tempat-tempat yang disinggahi itu di antaranya Paru yang saat itu sebagai pusat perkebunan lada, dari sana Sulthan menuju Kuala Keurandji yang suanginya berair jernih. Rombongan Sulthan istirahat di pantai pinggir kuala tersebut. Pantai itu kemudian dimanai Panteraja, yang bermakna pantai tempat raja singgah.

Di muara sungai terletak satu benteng peningalan Portugis ketika menyerang Negeri Pidie. Di atas bukit dekat kuala tersebut terdapat bekas kota atau bandar tempat penjualan lada dari perkebunan antara Kuala Njoeng dan Kuala Panteraja. Di kaki bukit tersebut terdapat kuburan Tu Uleegle yang tewas ketika menyerang benteng Portugis sekitar tahun 1521.

Tu Uleegle merupakan kakek dari Meuntroe Adan dan Bentara Seumasat Geulumpang Payong. Meuntroe Adam kemudian diangkat menjadi Laksamana oleh Sulthan Alaaddin Djohan Sjah (1742-1767). Sementara Potjut Muhammad diangkat menjadi Wali Nanggroe Pidie.

Di Panteraja Sulthan Iskandar Muda melatih lagi tentara baru di sebuah tanah lapang yang dinamai Blang Peurade. Daerah itu sampai kini dikenal dengan nama Peurade yakni daerah bekas dilakukan parade pasukan oleh Sulthan Iskandar Muda yang diambil dari berbagai daerah yang dilaluinya.

Setelah parade pasukan, Sulthan Iskandar Muda terus bergerak bersama ribuan prajurit ke arah timur. Daerah yang diallui pertama oleh parade pasukan itu dinamia Juroeng Beurangkat, yang artinya lorong (jalan) berangkatnya Sulthan. Sampai di suatu daerah, rombongan Sulthan diminta untuk singgah dan istirahat oleh penduduk yang menantinya. Di tempat itu Sulthan dipersilahkan duduk (Puduek) dan dijamu dengan tebu dan kelapa muda. Daerah itu kemudian dinamai Puduek yang artinya dipersilahkan duduk.

Dari Puduek Sulthan Iskandar Muda bersama bala tentaranya terus bergerak ke arah Timur hingga sampai ke sebuah daerah yang di pinggir jalannya terdapat pohon besar. Di bawah pohon itu Sulthan melihat sebuah umpang (karung). Tetapi pemilik karung itu tidak berada di situ. Sulthan memerintahkan bawahannya untuk mencari pemilik karung tersebut.

Kepada orang-orang di sekitar itu ditanyakan siapa pemilik karung itu. Seorang warga memberitahu bahwa karung itu milik seorang pria tua. Orang Aceh menyebutnya eumpang wa, yang berjalan lebih dahulu dari bawah pohon tersebut. Daerah itu kemudian dinamai Eumpang Wa, lama-lama berubah pengucapannya, hingga kini dikenal sebagai daerah Pangwa.

Seorang prajurit kemudian menjinjing karung itu untuk menyusul pemiliknya, namun setelah sekitar satu jam perjalanan, tak ditemukan, hingga Sulthan dan rombongan kemudia kembali istirahat di pinggir sungai kecil. Karena tak berhasil mencari pemilik karung tersebut, Sulthan memerintahkan prajurit itu untuk membukanya. Saat dibuka ternyata isinya beulacan (belacan). Sungai dan daerah pun dinamai Beulacan, yang kini dikenal sebagai Kemukiman Beuracan.

Dari Beuracan rombongan Sultan Iskandar Muda terus berjalan untuk menjumpai Tgk Jalaluddin Pakeh yang akan diangkatnya menjadi panglima perang. Sampai di suatu tempat, gajah yang ditunggangi Sulthan berhenti di sebuah bukit. Gajah yang dipanggil Meurah itu duduk di bukit itu di bawah pohon rindang.

Gajah duduk dalam bahasa Aceh disebuh Meurah Du, maka daerah itu pun dinamai Meurah Du, yang lama kelamaan pengucapannya berubah menjadi Meureudu, kota yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Pidie Jaya. Negeri Meureudu dulu diperintahkan oleh seorang Keuhruen Syik dengan 12 uleebalang di bawahnya.

Karena sudah sore, Sulthan menginap di negeri Meureudu untuk menjemput Tgk Japakeh dan Malem Dagang. Sulthan dan rombongan menginap agak ke timur dari daerah gajah duduk. Daerah itu dinamai dom sinaroe, yang bermakna bermalam bersama. Kini dikenal sebagai daerah Naroe.

Esoknya, Sulthan Iskandar Muda mengadakan rapat dengan Uleebalang dan panglima di negeri tersebut yakni: Tgk Jalalauddin Fakih (Tgk Japakeh) Tgk Malem Dagang dan Teungki Chik Pante Geulima di Meureuedu, Bentara Blang Ratna Wangsa, Meuntroe Adam, Bentara Keumangan, Bentara Seumasat Geuleumpang Payong, Bentara Puteh Mukim VIII, serta para petinggi negeri dan ulama di daerah itu.

Dalam pertemuan dengan Tgk Ja Pekeh di Meureudu, kepada Sulthan Iskandar Muda diusulkan agar Malem Dagang diangkat menjadi Panglima perang menyerang Semenanjung Malaya. Hal itu diterima olehg Sulthan dan Malem Dagang pun diangkat menjadi panglima.

Rapat itu juga menghasilkan kesepakatan bahwa seluruh rakyat negeri Meureudu dan Pidie mendukung perang yang akan dilakukan Sulthan. Sulthan Iskandar Muda mengangkat dan mengambil sumpah pejabat pemerintahan di Negeri Meureudu dan Pidie. Kepada mereka diberikan gelar kehormatan Mentroe (Menteri) dan Bentara (perwira), serta panglima dan keujruen bagi Uleebalang yang menjabat di Kuala dan Rimba.

Jabatan kehormatan Meuntroe diberikan kepada, Meuntroe Banggalang, Aree, Garot Metareum dan Krueng Seumideun. Sedangkan jabatan kehormatan Bentara diberikan kepada Bentara Rubee, Tjembo, Titue Keumala, Gigieng, Pineung, Blang Gapu, Gampong Asan, Ndjong, Tanoh Mirah dan Luengputu.

Sementara jabatan kehormatan Keujruen diberikan kepada, Keujruen Teurusip, Aron Langieng, Musa, Pante Raja, Pangwa. Dan panglima yang menjaga perintah turun ke sawah diangkat Panglima Meugoe Unoe. Untuk memimpin armada dan tentara kerajaan yang akan menyerang Semenanjung Malaya itu, Malem Dagang dari Negeri Meureudu diangkat menjadi Panglima dengan jabatan panglima besar.

Setelah menginap beberapa hari di Negeri Meureudu dan mengumpulkan lagi pasukan di sana, rombongan Sulthan Iskandar Muda bergerak lagi menuju ke arah timur. Pada tengah hari rombongan itu tiba disebuah kelokan sungai yang berair dingin dan jenih. Air sungai yang deras mengalir di celah batu-batu besar yang disebut Batee Ile, batu dengan air mengalir. Daerah inilah dinamai Batee Ile yang sekarang dikenal sebagai tempat wisata Batee Iliek.

Setelah mandi dan sembahyang di Batee Ilek, rombongan Sulthan menuju ke sebuah perkampungan dekat sungai itu. Daerah itu terdapat sebuah tumpukan rumah yang jumlah rumahnya ada enam puluh. Sulthan menamai daerah itu Tumpok Namploh, yakni desa dengan enampuluh rumah. Di kampung itu rombongan Sulthan juga bermalam. Kampung itu ramai karena letaknya di aliran Krueng Batee Iliek yang jernih. Di Tumpok Namploh Sulthan juga merekut para pemuda untuk memperkutan barisan tentaranya.

Pada pagi harinya, prajurit dan para perwira mandi di sungai. Saat berenang datanglah seekor elang yang menyambar tali pinggang putih di atas pantai, milik salah seorang perwira. Tali pinggang itu mungkin dikira ular oleh elang sehingga disambar. Elang itu terbang dan kemduian berhenti di atas bak nga (pohon kenang)

Perwira yang sedang berenang itu terkejut, lalu mereka beramai-ramai mengejar elang itu. Karena takut elang itu terbang lagi dan menyambar pohon kenanga. Maka elang itu disebut kleung sama bak nga, artinya elang yang menyambar pohon kenanga. Hal itu pula yang menurut H M Zainuddin sebagai asal usul dari nama Samalanga.

Dari Samalanga rombongan Sulthan kemudian berangkat lagi menuju pesisir timur. tidak berapa jauh dari Samalanga di tengah jalan rombongan itu dilintasi oleh sekawan kera (bue). Mereka menyeburnya ditham le bue, yakni dilintasi oleh kera. Karena itulah daerah padang yang dilalui itu dinamai Tham Bue, yang kini dikenal sebagai daerah Tambue.

Rombongan Suthan kemudian berjalan sampai menjumpai sebuah kuala. Karena sudah sore mereka bermalam di situ. Warga sekitar kemudian mengantarkan hidangan ala kadar untuk rombongan Sulthan dan tentaranya. Di antaranya hidangan dan sarapan itu terdapat isi satu piring sambal yang diantar oleh seorang wanita. Sambal itu terbuat dari ikan dan direbus seperti petis udang. Orang Aceh menamai sambal itu “peuda” dan karena rasanya sangat pedas maka mereka itu menyebut terlalu pedas dengan kata peuda da yang kemudian menjadi nama daerah tersebut; Peudada.

Esoknya Sulthan melanjutkan perjalanan hingga sampai ke suatu kuala besar yang dijaga oleh kapal perang raja di dekat daerah Jangka. Daerah itu pun dinamaka Kuala Raja, kuala yang dijaga oleh kapal perangnya raja.

Di situ Seri Sulthan memanggil pula para uleebalang untuk meminta orang ikut pergi menjerang Malaka. Tapi banyak yang takut dan tak ingin ikut dalam rombongan tersebut mereka takut akan terlibat dalam perang besar. Mereka melarikan diri ke dalam rimba. Orang-orang yang ketakutan itu dipanggil ka yo (sudah takut). Pengucapannya lama kelamaan berubah menjadi ga yo. Kelompok orang-orang yang lari dari ajakan perang inilah yang disebut H M Zainuddin sebagai orang-orang Gayo sekarang.

Uleebalang daerah itu merasa malu karena para pemudanya tidak berani ikut berperang. Karena itu, uleebalang minta maaf dan mempersilahkan suthan dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke Timur. Namun uleebalang itu berjanji akan menyuruh orang-orang yang lari ke rimba itu untuk menangkap gajah dan akan dipersembahkan kepada Sulthan nanti setelah pulang dari perang.

Ketika rombongan dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan itulah, timbul olok-olok dari kalangan tentara kerajaan yang ramai-ramai berteriak peusak ngon, yang atrinya mendesak kawan. Hal itu diucapkan karena uleebalang itu mendesak para tentara untuk melanjutkan perjalanannya, sementara uleebalang itu sendiri tidak memberikan pemudanya untuk menjadi tentara yang akan berperang ke Malaka. Dari kata peusak ngon itulah asal usul nama daerah Peusangan.

Dari Peusangan, bala tentara dan Sulthan terus melanjutkan perjalanan sampai ke suatu negeri yang bernama Kandang. Mereka berhenti di situ. Sulthan kembali meminta para pemuda di sana untuk bergabung dalam angkatan perang untuk diberangkatkan menuju Malaka. Tapi warga di sana meminta keberangkatan di tunda dulu, mereka belum siap berangkat karena tanaman padinya belum dipanen. Karena itulah daerah itu dinamai tunda yang bermakna menunda keberangkatan, sebuah daerah yang kini kita kenal dengan nama Cunda.

Setelah orang-orang di Cunda siap untuk berangkat, rombongan menuju sebuah teluk yang indah, tapi sepi karena ditinggal pergi penduduknya. Di daerah itu hanya tinggal seorang nelayan tua yang sedang memancing. Rombongan Sulthan bertanya pada nelayan itu kemana para penduduk. Ia menjawab bahwa para penduduk sudah pergi, “Seuma-seuma ka iweh, (kuman-kuman sudah pergi),” jawab nelayan itu. Daerah itupun dinamai Seuma weh, daerah yang kini dikenal sebagai Lhok Seumawe.[iskandar norman]
bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah

Endatu Ureung Pidie

Posted on Updated on

Selama ini kita mengetahui asal mula daerah Pidie sekarang adalah Kerajaan Poli atau Pedir, tapi ternyata jauh sebelumnya sudah ada Kerajaan Sama Indra sebagai cikal bakalnya.

Sebuah buku lama yang ditulis sejarawan M Junus Djamil yang disusun dengan ketikan mesin tik, mengungkapkan hal itu. Buku dengan judul “Silsilah Tawarick Radja-radja Kerajaan Aceh” Buku yang diterbitkan oleh Adjdam-I/Iskandar Muda tidak lagi jelas tahun penerbitnya. Tapi pada kata pengantar yang ditulis dengan ejaan lama oleh Perwira Adjudan Djendral Kodam-I/Iskandar Muda, T Muhammad Ali, tertera 21 Agustus 1968.

Buku setebal 57 halaman itu pada halaman 24 berisi tentang sejarah Negeri Pidie/Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur.

Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara.

Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.

Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.

Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.

Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indra mengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu,

Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan Sama Indra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.

Setelah kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Aceh selanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.

Meski sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat Kerajaan Aceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.

Masih menurut M Junus Djamil, setelah Sultan Mahmud II Alaiddin Jauhan Syah raja Kerajaan Aceh Darussalam Mangkat, maka Sultan Husain Syah selaku Maharaja Pidie diangkat sebagai penggantinya. Ia memerintah Kerajaan Aceh dari tahun 1465 sampai 1480 Masehi. Kemudian untuk Maharaja Pidie yang baru diangkat anaknya yang bernama Malik Sulaiman Noer. Sementara putranya yang satu lagi, Malik Munawar Syah diangkat menjadi raja muda dan laksamana di daerah timur, yang mencakup wilayah Samudra/Pase, Peureulak, Teuminga dan Aru dengan pusat pemerintahan di Pangkalan Nala (Pulau Kampey).  [Iskandar Norman]

bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah