sejarah aceh

[Share]Download Komik Cerita Rakyat Aceh

Posted on Updated on

Setiap negara memiliki cerita-cerita rakyat yang berbentuk mitos, fabel dan legenda. Aceh pun demikian pula.  Setiap daerah di Aceh memiliki cerita rakyat yang khas dan unik, meskipun banyak pula cerita rakyat yang sama antara satu daerah dengan daerah-daerah lain. Semoga sajian ini mampu menggugah putra-putri kita untuk menghargai kisah yang diwariskan oleh nenek moyang kita sendiri, serta dengan demikian akan mampu pula memetik hikmah dan manfaat demi kebaikan.

Putroe Gumbak Meuh 
Putroe Pucok Geulumpang
DOWNLOAD Password : www.atjehcyber.tk
Amat Rhang Manyang
DOWNLOAD Password : www.atjehcyber.tk
Legenda Gajah Puteh
DOWNLOAD Password : www.atjehcyber.tk
Putroe Kamaliah
DOWNLOAD | Password : www.atjehcyber.tk

Balada Tulo Ngon Miriek

DOWNLOAD | Password : www.atjehcyber.tk

***

“Note : Jika mengalami kesulitan, tinggalkan komentar sobat…”
sumber: Atjehcyber.tk

Tipu Ala Republik

Posted on Updated on

PT. ARUN LNG

Pengerukan PT. ARUN oleh Republik Selama 37 Tahun

TEUNGKU Abdullah Saleh meninggalkan kursinya di balkon barat. Dia pergi ke balkon timur, lalu duduk mengaso di lantai. Sepasang sepatu pantofel hitam kini tergeletak di samping kiri. Kedua kaki yang pegal diluruskan di lantai. Punggungnya bersandar di tembok. Dia tak peduli orang lalu lalang di depannya. Dia letih.

Wartawan yang meliput rapat paripurna parlemen juga suka mengambil posisi di balkon timur.

Cari suasana lain saja,” katanya, seraya menyungging senyum.

Bagi Teungku Abdullah dan semua rakyat Aceh, hari tersebut adalah hari penting. Anggota parlemen tengah memberikan pendapat akhir mengenai Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU PA). Sidang menarik minat pengunjung. Kursi-kursi penuh. Wartawan sejumlah media tak mau  ketinggalan merekam peristiwa tersebut.

Suasana di balkon berbeda dengan di lantai bawah. Tidak semua anggota parlemen ikut bersidang. Di sana-sini kursi kosong. Anggota parlemen yang datang malah sibuk baca koran atau mengobrol dengan teman di sebelahnya.

 “Sekarang giliran fraksi apa?” tanya Teungku Abdullah.

“Fraksi PPP,” jawab seorang perempuan yang kebetulan lewat.  PPP singkatan Partai Persatuan Pembangunan.

Namun, perhatian Teungku Abdullah tidak terfokus pada rapat tersebut. Dia kemudian lebih asyik berbincang dengan dua temannya, dalam bahasa Aceh.

 “…Undang-Undang ini harus membawa kesejahteraan rakyat. Bukan kesejahteraan elit,” Suara Sutradara Ginting bergemuruh.

Merdeka!” teriak hadirin di balkon barat.

Sutradara adalah juru bicara fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Ruang rapat riuh oleh tepuk tangan. Ketua parlemen, Agung Laksono, menutup rapat paripurna. Akhirnya, sepuluh fraksi yang ada di parlemen setuju RUU PA disahkan menjadi undang-undang.

DI sebuah ruangan yang cukup nyaman di lantai tiga gedung parlemen, Andi  Salahudin begitu semangat bercerita tentang debat tim panitia khusus RUU PA dengan pemerintah. Dia anggota fraksi dari Partai Keadilan Sejahtera. Andi asal Aceh. Tetapi logat bicaranya menunjukkan dia sudah lama tinggal di Jakarta.

 “Saya masih tidak habis pikir mengapa pemerintah begitu ngotot ingin menguasai pengelolaan migas Aceh,” kata Andi.

Mungkin tidak ingin kehilangan success fee atau commitment fee dari kontraktor?” sahut seseorang.

Saya juga menduga begitu. Ha ha ha ha…” Andi tertawa keras.

Istilah success fee atau commitment fee kerap dipakai untuk menyebut jatah atau persenan dari pengusaha tertentu ketika seseorang berhasil meloloskan suatu proyek atau program milik si pengusaha.

Pemerintah menolak salah satu poin RUU PA, yang ingin minyak dan gas Aceh sepenuhnya dikelola pemerintah daerah Aceh. Pembahasan soal ini berlangsung alot.  Panitia khusus alias pansus dan pemerintah sampai harus bertemu di forum lobi. Pemerintah takut daerah lain menuntut pengelolaan sumber alamnya seperti Aceh bila poin tersebut lolos. Bagaimana kalau nanti Papua minta? Kalimantan minta? Riau minta?

Tidak masalah selama aturan mainnya jelas. Bahkan harus seperti itu. Agar daerah-daerah penghasil itu yang selama ini faktanya punya angka kemiskinan tinggi bisa sedikit-sedikit berkurang,” tutur Andi.

Selama ini memang berlaku rumus ganjil di Indonesia. Daerah kaya = penduduk miskin. Semakin kaya sumber alam suatu wilayah, semakin miskin warganya.

Menurut Andi, pengelolaan migas ibarat arisan. Dulu pemerintah yang jadi panitia. Aturan main ditetapkan mereka. Bagian pemerintah sekian, bagian pengelola sekian, pajak sekian, ini dan itu sekian. Nah, sekarang kepanitiaan ini perlu diserahkan kepada Aceh. Nanti Aceh yang menentukan bagian yang diterima pemerintah pusat.

Seperti diutarakan Ferry, rumusan ini bukan untuk memberi lebih kepada Aceh. Tapi lebih karena kita melihat apa yang dibutuhkan Aceh untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pascakonflik dan tsunami,” katanya, mengutip ucapan Ferry Mursyidan Baldan, ketua pansus RUU PA dari fraksi Partai Golongan Karya.

Kata sepakat akhirnya diambil. Pemerintah pusat dan pemerintahan Aceh akan bersama-sama mengelola migas Aceh. Sebelum mengadakan perjanjian kontrak dengan pihak lain, pemerintah pusat harus berunding dulu dengan Aceh.

Tetapi, “Kesepakatan ini tidak memuaskan masyarakat Aceh, termasuk GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Kita sudah upayakan maksimal pengelolaan migas diserahkan kepada Aceh. Toh fraksi-fraksi juga tidak mempermasalahkan. Yang tidak setuju cuma pemerintah. Kalau mau lebih lagi, ya, giliran GAM yang negosiasi ke pemerintah. Yang melakukan MoU ‘kan pemerintah dengan GAM. Kalau bisa, pihak GAM menekan pemerintah agar pengelolaan migas diserahkan ke Aceh.”

Berdasarkan undang-undang, pemerintah juga harus memberi dana tambahan berupa dana otonomi khusus selama dua puluh tahun pada Aceh. Besar dana dua persen dari total dana alokasi umum nasional untuk tahun pertama sampai tahun kelima belas. Tahun keenam belas sampai kedua puluh menyusut jadi satu persen.

Dana ini merupakan kompensasi atas apa yang diberikan Aceh kepada Indonesia,” kata Andi.

Semula pemerintah keberatan. Departemen Keuangan mengajukan angka satu persen untuk lima tahun.

Kita pakai angka yang diperoleh Papua, sebesar dua persen selama dua puluh tahun. Kita minta Aceh paling nggak harus sama dengan Papua. Lebih boleh. Kurang tidak,” kata Andi.

Tawar-menawar kembali terjadi. Tawaran naik dari satu persen untuk lima tahun ke 1,75 persen untuk 10 tahun. Akhirnya, pemerintah bertahan di angka dua persen untuk 15 tahun.

Itu perubahannya dalam waktu seminggu,” kata Andi, sambil tertawa.

Pansus sengaja melakukan tawar-menawar agar pemerintah terbuka tentang jumlah dana yang sudah mereka keruk dari Aceh.

Kita nantang pemerintah. Coba hitung berapa dana yang diambil dari gas (PT) Arun dari pertama sampai akhir.”

PT Arun Liquefied Natural Gas (NGL) adalah perusahaan penghasil gas alam cair terbesar di Indonesia. Pada tahun 1990, PT Arun adalah perusahaan penghasil LNG terbesar di dunia. PT Arun merupakan anak perusahaan dari Pertamina. Berlokasi di Lhokseumawe, Aceh Utara. Sejak penemuan ladang gas alam cair pada 16 Maret 1974 di bawah desa Arun, perusahaan ini gencar melakukan eksploitasi dan penjualan ke Jepang dan Korea. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Aceh,  PT Arun memasok sekitar 30 persen ekspor minyak dan gas Indonesia


Mestinya dihitung juga dong dana yang sudah diberikan pemerintah kepada Aceh,” tukas saya.

Oke. Tidak masalah. Kita hitung… kita hitung. Pemerintah ngasih ke Aceh lewat APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Nasional) selama ini berapa. Kita hitung… Dana yang diambil pemerintah dari Aceh juga kita hitung,” kata Andi, dengan nada tinggi.

Malam itu, Teungku Abdullah baru saja tiba di kantor perwakilan Aceh di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta Pusat. Gedung dua lantai. Kantor di lantai bawah. Penginapan di lantai atas. Kantor Kedutaan Besar Portugal terletak di seberang gedung ini

Wajah Teungku Abdullah kuyu. Malam itu dia sudah menukar setelan rapat dengan sarung dan kaos putih lengan panjang. Dia  adalah legislator Aceh dari PPP. Usia 46 tahun. Perawakan tegap. Uban sudah memenuhi kepala.

Sejak RUU PA disahkan menjadi UU PA, tugasnya sebagai ketua tim advokasi RUU PA praktis selesai. Dia memimpin 15 orang anggotanya bertemu tokoh-tokoh partai di Jakarta. Mereka melakukan lobi ke fraksi-fraksi di parlemen.

Dia juga terlibat dalam panitia khusus yang membahas rancangan  awal RUU PA pada Oktober 2005. Proses ini menghabiskan waktu dua bulan sampai rancangan ketujuh siap. Rancangan inilah yang dikirim ke pemerintah pusat.

Upaya maksimal sudah kita lakukan,  meski kita sadari belum tentu memuaskan semua pihak. Saya sendiri tidak puas,” ujarnya.

Kenapa?

Undang-Undang ini tidak konsisten terhadap kesepakatan, terhadap MoU. Yang pertama, hal mengenai kewenangan. Di MoU sudah sangat tegas disebut mana kewenangan Aceh, mana kewenangan pemerintah pusat,” jawab Teungku Abdullah, dengan nada tinggi.

Anehnya, soal pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam). Pemerintah bertahan ingin terus ikut mengelola minyak dan gas. Mereka ngotot. Ini namanya bentuk pengingkaran terhadap Kesepakatan Helsinki. Mereka tidak mau melepas migas,” lanjutnya.

MoU singkatan dari Memorandum of Understanding yang disebut Teungku Abdullah adalah sebuah nota kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Lahirnya MoU ini menjadi dasar pemerintah menetapkan aturan tentang pemerintahan Aceh.

Salah satu isi MoU menyebut pemerintah pusat hanya mempunyai kewenangan terhadap enam hal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman, dan kebebasan beragama.  Di luar enam hal ini adalah kewenangan pemerintahan di Aceh.

Aceh penuh dengan latar belakang sejarah di mana selama ini pemerintah republik seringkali ingkar janji. Rakyat sering ditipu. Diabaikan. Inilah yang namanya tipu republik. Istilah ini terus berkembang di masyarakat Aceh sampai sekarang.”

Namun, dia tak patah semangat.

Kalau nanti ada yang kurang dan perlu kita perjuangkan akan kita perjuangkan. Sekarang, tidak ada lagi cerita soal Aceh mau merdeka atau tidak. Yang ada apa Aceh mau berubah lebih baik atau tidak,” katanya, tegas.

***

*) Hairul Anwar adalah kontributor Aceh Feature di Jakarta, acehfeature.org

Download Buku "Tarikh Aceh Dan Nusantara"

Posted on Updated on

PERMULAAN KALAM Oleh Penulis Drs. H. MUHAMMAD ZAINUDDIN

KATA PENGANTAR

Dimasa saja ketjil, selalu, bilamana orang tua2 duduki dibalai dan di Meunasah, atau disatu pertemuan orang2 patut, atau ahli sedjarah jang dikumpulkan oleh T. Laksamana Hadji Ibrahim di Loengputu atau di Kampong Keramat Sigli, saja mendengar tjeritera atau riwajat kuna tentang hal keradjaan Atjeh. Diantara orange tua jang pandai meriwajatkan tjeritera kuno (mythe) itu masih dapat saja ingat jaitu : Teungku Muda Mat Saleh dari Banggalang, sebagai orang terkemuka dari Teuku Radja Pakeh Pidie, Teuku Ahmad Garot orang tertua dari Teuku Laksamana Negeri Ndjong, Teungku Harun Teupin Raja (Teungku Diteupin Raja), ‘ulama jang termasjhur dalam daerah Negeri Pidie, Njak Dalam anak sulung dari Teungku Muda Mat Saleh, ajah saja sendiri H. Abubakar, Sjahbandar Njak Biang, Mama Lotan dan laini jang saja tak dapat sebut namanja disini.

Selain itu banjak sekali saja mendengar batjaan hikajat! : Malem Dagang, Potjut Muhammad, Radja Bada, Meudeuhak, Nun-Parsi, Bustanus Salatin dan lain2 jang sering2 disuruh batja oleh ajah saja kepadaorang2 jang pandai melakukan hikajat itu. Tatkala itu perhatian saja kepada ‘alam sedjarah belum ada, tjuma mendengar2 sadja dan apa jang terdengar itu sebagai peringatan tetapi tersimpan dihati saja.

Dalam tahun 1925, tatkala saja melawat kepulan Djawa untuk berobat di Sanatorium Simplak (Bogor) 4 bulan lamanja, sementara itu saja siapkan karangan Djeumpa Atjeh tatkala itu pula saja ambil kesempatanmengundjungi Gedung Gadjah (Meuseum) di Betawi (Djakarta). Kundjungan jang pertama, terlihat oleh saja salah satu surat Naskah dari Radja Belanda mengirim kepada Sulthan Atjeh, surat itu agak baru habis dibatjaorang, tetapi masih terletak diatas medja. Karena itu terbitlah keinginan dan kenang-kenangan apa2 jang saja dengar dari orang tua2 dahulu, sehingga timbul Inspirasi untuk mentjari Ritoo2 jang bersangkutan dengan sedjarah Atjeh. Sewaktu saja balik pulang ke Atjeh, saja singgah di Singapura dan disana saja kundjungi pula Meuseum Raffles.

Disitu saja dapat melihat buku2 hikajal2 Tanah Melaju jang dikarang oleh Abdullah Munshi dan Winstedt. Keluar dari situ saja mentjari gedung2 pendjualan kitab2 dan saja peroleh apa jang saja tjari. Sesampainjasaja ke Atjeh niat saja bertambah besar, untuk mengumpulkan bahanz jang perlu bagi kepentingan sedjarah Atjeh. Saja makin lebih giat lagi menemui orang2 tua untuk bertanja apa jang perlu, baik dalam negeri Peureulak, Pasai, Pidie, dan Atjeh Besar.

Di Kutaradja saja kundjungi Teungku Sjech Ibrahim, Wafei Usuh, Teungku Njak Banta Lamreueng (Panglima Sagt XXVI), Teungku Meurah Lam Kapang, 7 uanku Radja Kcumala dan lain2. Sesudah itu dalam tahun 1928 saja melawat lagi ke Penang dan Keudah (Melaja) dan setelah itu saja melawat ke Atjeh Barat 1952 di Meulaboh saja kundjungi T. Tjhik Ali Akbar, Hadji Njak Na, Tjutmud dan lain2. Begitu pula di Tapak Tuan dalam tahun ‘953 dan kemudiany ke Takengon dalam tahun 1936. Orang2 jang saja kundjungi memberikan bahan kepada saja, apa jang saja tanja dan semua keterangan itu djadi bahan pegangan bagi saja.

Sedjarah negeri Peureulak saja kumpul tatkala saja bertugas disana dan sedjarah Pasai-pun saja peladjari dan saja siasati semendjak saja tinggal disana dari tahun 1921-1938 dan apa jang patut sajä tjatat tersimpandalam berkas. Kemudian tjatalan itu saja perhubungkan dengan kitabl jang saja batja dan dongeng (mythe) jang saja dengar dimasa saja ketjil, serta saja tambah dengan bahan2 jang terdapat dari buku2 Belanda, lnggeris, Arab dll. Mudah2an dengan taufik dan hidajah Allah, usaha saja dapat tersusun pertama kali buku Singa Atjeh (biographi Sri Sulthan Iskandar Muda).

Karena dalam pemeriksaan kepada orangi tua, banjak terdapat keterangan jang mengenai peribadi Almarhum itu dan Ratu Sjafiathuddin sjah serta Nurdin Ar Raniri dan Abdul Rauf. Didalam zaman perang Djepang makin banjak terdapat buku2 jang berguna untuk menambah bahan2 jang telah ada, saja sangat menghargaiserta menghormati pengarang2 dizaman bahari jang telah begitu besar usahanja bagi ilmijah, sekalipun ada jang menekan atau memburukkan Atjeh oleh pengarang-pengarang Belanda, tetapi tjatatannja dapat berguna untuk pegangan saja. Didalam tahun 1952 saja melawat lagi ke Melaja pergi memeriksa bekas istana Radja bersuing di Merbuk jang tersebut dalam hikajat Marong Mahawangsa. Sesudah itu via Singapura saja melawat ke Djakarta.

Sementara saja berada dipulau Djawa, saja menindjau makam Molikul Ibrahim dan makam Malikul Ishak (Sunan Giri) di Geresik. Didalam tahun 1933 saja melawat ke Sumatera Tengah menindjau Inskripsi (Batu bersurat) jang ada di Batu Sangkar, untuk bahan persiapan buku Atjeh dan Nusantara ini, pada tahun 1937 dapat diterbitkan BUKU SINGA ATJEH. Dengan taufik dan hidajah Tuhan sekarang dalam tempo 40 tahun dalam sibuk mentjari bahan2 pegangan, achirnja dapat pula saja persembahkan kepada para pemhatja buku TARICH ATJEH DAN NUSANTARA ini terutama peladjari atau Mahasiswa untuk kenang2an guna menindjau kembali kezaman Bahari, kalau-kalau berguna bagi studi dan pongelahuannja, dengan pengharapan perbaikan dimana salah dan tambah dimana jang masih kurang.

Dalam tahun 1938, sesudah selesai lugas dalam Pekan Kebudajaati Atjeh, saja pergi menjelidiki dan memeriksa makam atau kuburan2 tua jang ternama didaerah Atjeh Besar jang sebahagian saja masukkan dalam buku ini.

Penutupnja saja menjatakan terima kasih jang tak terhingga kepada jang mulia Prof. Mr. T.M. Hanafiah, jang telah memeriksa dengan seksama serta memberikan kata sumbangsihnja terhadap isi buku ini, kepada Radja Muluk Alhas jang telah memberikan bahan2 sedjarah Tamiang, kepada saja, T. Sjahmidan jang telah membantu saja dalam penterdjemahan dari bahasa asing dan kepada M. Thamrin ZZ jang telah membantu saja dalam hal teknik isinja. Mudahian Tuhan akan membalas djasa2 beliau itu.

Hormat saja, 

H. M. ZAINUDDIN.

***
BUKU TARIKH ACEH DAN NUSANTARA
Bagi para sahabat yang ingin mendownload Buku ” Tarikh Aceh dan Nusantara ” bisa di dapatkan via Mediafire yang telah kami upload, Silahkan Klik Link Download di bawah, Jangan Lupa isi PASSWORD terlebih dahulu. Selamat membaca, dan mudah-mudahan bermanfaat bagi Sobat Aceh.

Download Buku “ TARIKH ACEH DAN NUSANTARA ” 
( Size : 64.87 MB – Password : http://www.atjehcyber.tk )
“Note : Jika mengalami kesulitan, tinggalkan komentar sobat…”

*****\\

Pesan Soekarno dan Abu Beureueh di Kuta Asan

Posted on Updated on

Tanggal 17 Juni 1948 Presiden Soekarno berkunjung ke Sigli dan berpidato bersama Tgk Muhamamd Daod Beureueh di Lapangan Kuta Asan, stadion sepak bola kebanggaan masyarakat Pidie sekarang. Orang-orang tua di Pidie masih menyimpan memori itu.

Presiden Soekarno berangkat dari Banda Aceh sekitar pukul sembilan pagi. Ia sengaja memilih jalan darat untuk bisa langsung ribuan masyarakat yang menyambutnya di sepanjang jalan. Di beberapa tempat Soekrano segaja berhenti untuk memberi salam dan pidato singkatnya kepada masyarakat yang menantinya.

Seperti di Simpang Montasik. Dalam buku Prekundjungan Presiden Soekarno ke Atjeh diceritakan, di Simpang Montasik itu Soekarno menyampaikan terimakasihnya kepada warga Montasik yang telah mempersiapkan jalan menuju Blang Bintang untuk persiapan pembukaan Bandar Udara (Bandara). Kini, Bandara itu telah berdiri dan dikenal sebagai Bandara Internasional Sulthan Iskandar Muda.

Soekarno juga meminta maaf, karena tidak menggunakan bandara tersebut sebagai tempat pendaratan pesawat yang membawa rombongannya dari Jakarta dua hari sebelumnya; 15 Juni 1948, tapi mendarat di lapangan terbang Lhok Nga. “Saudara-saudara tentu merasa kesal, karena lapangan Blang Bintang tidak dipakai, dan dipakai lapangan terbang Lhok Nga, oleh karena lapangan itu lebih sempurna. Tetapi saya tetap berterima kasih kepada saudara-saudara, saya terharu atas persediaan saudara-saudara kepada kepala negara. Marilah kita sekarang menyorakkan merdeka,” kata Soekarno.

Ratusan warga yang memadati Simpang Montasik membalas teriakan “merdeka” yang dari Soekarno. Dari sana Soekarno kemudian melanjutkan perjalanan menuju Sigli. Jam satu siang rombongan presiden memasuki Kota Sigli dan disambut puluhan ribu rakyat Pidie di sepanjang jalan.

Soekarno langsung menuju ke Pendopo Bupati Pidie untuk makan siang. Jam dua siang, Soekarno menuju ke Lapangan Kuta Asan untuk menyampaikan pidatonya. Di bawah terik matahari ribuan rakyat sudah memadati lapangan tersebut, mulai dari jalan sampai ke tengah lapangan.

Bupati Pidie, Tgk Abdul Wahab naik ke mimbar untuk menyampaikan sambutannya dengan terikan Allahu Akbar dan pembacaan Fatihah dilanjutkan dengan penghormatan kepada presiden.

Setelah itu Bupati Tgk Abdul Wahab mempersilahkan Ketua Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia, Soerjo untuk menyampaikan pidato susulan. Soerjo menyampaikan kekagumannya kepada rakyat Pidie yang menyambut rombongan presiden. “Waktu mula-mula ke sini, saya tidak mengetahui bagaimana Sigli, tapi sekarang saya berdiri diantara masyarakat Pidie,” katanya.

Dalam pidatonya Soerjo meminta rakyat Pidie untuk berjuang terus mempertahankan republik yang disebutnya sebagai jembatan emas untuk mencapai kebahagiaan bersama. “Sekarang mari kita berpikir satu hal saja, yakni negara republik Indonesia,” teriaknya.

Pesan Abu Beureueh
Tgk Muhammad Daod Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo selanjutnya tampil berpidato. Ia meminta agar seluruh rakyat Pidie mengumpulkan harta, tenaga dan pikiran untuk mempertahankan republik Indonesia dari rongrongan bangsa luar.

Di hadapan ribuan rakyat Pidie Abu Beureueh berkata. “Masa penjajahan Belanda dan Jepang telah kita lalui, sekarang telah datang masa kemerdekaan. Saudara-saudara yang terhormat, saya adalah manusia adalah manusia yang kosong, hanya dua perkara yang dapat saudara-saudara terima,” kata Abu Beureueh. Ia kemudian membayat dua ayar Alquran dan menjelaskan dua perkara yang disebutnya itu.

“Saudara-saudara, yang pertama dan yang kedua telah sampai, alangkah baiknya kalau saudara-saudara sendiri dapat mengerti apakah pesan tersebut, tetapi apa boleh buat, demikian lama Tuhan megiriman Alquran kepada kita, hingga sekarang belum dapat mengerti. Ayat pertama yang ringkas saya bacakan maksudnya adalah; Tuhan memerintahkan kepada ummt Nabi Muhammad SAW penghubi bumi Indonesia, diperintahkan kepada kita supaya sedia, mengumpulkan segala tenaga yang ada pada kita, terutama tenaga persatuan. Kedua, tenaga kekuatan harta, ketiga kekuatan pikiran, keempat kekuatan apa saja yang dapat kita bulatkan untuk menanti saat datangnya musuh. Sebelum musuh datang, kita terlebih dahulu memperlihatkan bagaimana kekuatan kita, supaya mereka gentar. Musuh kita musuh Nabi, musuh kita musuh Tuhan. Belanda yang angkara murka yang kembali hendak menjajah kita,” jelas Abu Beureueh penuh semangat.

Dalam pidatonya Abu Beureueh juga menekankan pentingnya menolak segala bentuh penjajahan. Berjuang untuk melawan penindasan sebagaimaan suruhan agama. Ia mengulang kembali apa yang telah terjadi di Aceh semasa melawan penjajahan Belanda dan Jepang, yang disebutnya sebagai kafir, musuh agama. Dalam pidatonya ia melanjutkan pesannya kepada rakyat Aceh di Pidie,

“Kita sudah barang tentu tidak mau dijajah. Kalau memang kita tidak mau dijajah, bersedia untuk menangkis, untuk menolak, untuk menggetarkan hati mereka sendiri, Ini ialah pesan Tuhan yang pertama. Saya yakin saudara-saudara memang sudah siap sedia lengkap dengan segala tenaga yang ada pasa saudara-saudara,” katanya.

Kemerdekaan yang telah diraih menurut Abu Beureueh merupakan nikmat yang harus disyukuri. Rakyat Aceh harus beryukur atas karunia Tuhan tersebut, tak boleh mengingkarinya. Dalam pidatonya Abu Beureueh melanjutkan. “Sebagai bukti kepada Tuhan, untuk mensyukuri Tuhan, menghilangkan kafir Belanda, kafir Jepang, dan meninggalkan bahan-bahan yang menguntungkan. Sekarang mau dilihat oleh Tuhan apa yang kamu lakukan. Kalau kamu ingkar kepada Tuhan, tidak kamu insyafi, tentu kamu akan mendapat kutuk,” tegasnya.

Abu Beureueh yakin rakyat Aceh di Pidie akan siap untuk menentang musuh yang akan kembali untuk menjajah. Di ujung pidatonya ia berpesan kepada para pejuang untuk selalu melindungi dan memberi kenyamanan bagi rakyat, meski dalam keadaan perang sekalipun. Tentang itu, Abu Beureueh berkata:

“Saudara-saudara, pesan Tuhan yang kedua, saya yakin saudara-saudara telah siap menentang musuh, menangkis Belanda. Maka, sambutlah pesan Tuhan yang kedua yakni bekerja dengan baik. Bawalah rakyat ke medan keamanan, bahkan ke medan kebahagiaan, kenikmatan. Sampai kini sekarang telah datang masa untuk saudara-saudara menerima wajangan dari paduka yang mulia presiden kita. Sambutlah dengan hati yang riang gembira. Demikianlah saya sudahi dengan doa selamat, mudah-mudahan saudara dalam aman dan tentram,” Abu Beureueh mengakhiri pidatonya.

Pesan Soekarno
Setelah Abu Beureueh berpidato, tiba giliran Presiden Soekarno untuk naik ke podium utama menyampaikan pesan dan wejangannya kepada rakyat Aceh di Pidie. “Saudara-saudara sekalian, lebih dahulu sebagai seorang yang beragama Islam, saya mengucapkan kepada saudara-saudara salam Islam, Assalamualaikum warahmatullah wabarakatu,” kata Soekarno membuka pidatonya.

Salam Soekarno dijawab dengan suara gemuruh oleh masyarakat Pidie yang memadati lapangan Kuta Asan. Setelah itu kata Soekarno, “Kemudian sebagai kepala negara saya hendak menyampaikan pekik merdeka. Minta disambut dengan sura yang membelah bumi, merdekaaa,” teriak Soekarno sambil mengacungkan tanganya yang tergepal ke udara.

Teriakan itu juga dijawab dengan terikan yang sama dengan gemuruh seisi stadion. Ini merupakan pengalaman pertama masyarakat Pidie berhadapan langsung dengan Presiden Soekarno. Mereka menyambutnya dengan suka cita dan penuh semangat. Soekarno selanjutnya menjelaskan tentang arti penting sebuah negara (Indonesia) yang baru didirikan, yang menuntut kedisiplinan dalam menjalankannya dengan segala peraturan perundang-undangan. “Negara ini adalah suatu negara yang berorganisasi, bertata tertib. Oleh karena itu saya minta agar juga tata tertib dijalankan, dihormati peraturan-peraturan dan tata tertib itu,” pinta Soekarno.

Selanjutnya, Soekarno menjelaskan kepada rakyat Pidie tentang pengakuat dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Katanya, surat kabar di luar negeri seperti New York, Washington, London dan Paris menulis tentang lahirnya Indonesia sebagai sebuah negara republik yang merdeka dari penjajahan Belanda. “Every thing in the Republik of Indonesia is well,” katanya dalam bahasa Inggris. “Hal yang demikian mengangkat nama republik. Inilah yang membuat seluruh dunia menghormati kemerdekaan kita,” lanjut Soekarno.

Kepada para pemuda di Pidie, Soekarno meminta untuk mengingat sumpah pemuda dan memperkokoh persatuan, serta patuh dan setia kepada negara. Menutup pidatonya, Soekarno mengatakan, “Aku hendak meminta supaya dijaga tata tertib, dijaga persatuan dengan segenap bangsa kita semua. Semua bangsa yang mencintai kemerdekaan. Marilah, marilah, marilah saudara sekalian menyusun persatuan. Dengan adanya persatuan yang demikian kita dapat meneruskan perjuangan kita. Dengan demikian tidak ada kans sedikit juga bagi musuh untuk mejajah kembali. Sekianlah, Wassalamualaikumwarahmatullahwabaratuh, merdekaaa,” teriaknya menutup pidato. Teriak yang dijawab dengan teriakan yang sama oleh ribuan rakyat Pidie di Kuta Asan.

Dari Sigli Soekarno ke Bireuen
Usai pidato di Kuta Asan, sekitar pukul 14.45 WIB, Soekarno melanjutkan perjalanan ke Bireuen melalui jalan Peukan Pidie, Garot, Gle Gapui, Beureuneun, Meureudu hingga sampai ke Bireuen. Sepanjang jalan yang dilalui itu rakyat Aceh berbaris di samping jalan sambil melambaikan bendera merah putih. Di Bireuen Presiden Soekarno menginap di rumah Kolonel Husein Joesoef.

Esoknya, 18 Juni 1948, Presiden Soekarno memberi kursus politik kepada para pejabat di Bireuen dan sekitarnya. Kuliah umum itu diberikan Soekarno di Bioskop Murni pada jam sebelas. Sorenya, ia kembali memberikan kursus politik kepada para pemuda di sana. Dalam pidatonya, Soekarno memberikan kursus politik yang sama dengan apa yang disampaikannya di Kutaradja.

Malamnya, Soekarno menyampaikan pidato untuk rakyat Aceh di Bireuen. Pidato itu digelar di lapangan Cot Gapu yang dihadiri oleh lebih dari 100 ribu orang. Pidato yang disebut sebagai rapat umum tersebut dibuka oleh Bupati Aceh Timur T A Hasan selaku ketua panitia penyambutan presiden di Bireuen.

Sebagai pembicara pertama tampil Komisaris Negara Mr T Mohammad Hasan, dilanjutkan Gubernur Militer Aceh Langkah dan Tanah Karo Tgk Muhammad Daod Beureueh. Setelah itu baru Soekarno. Usai rapat umum di Cot Gapu itu, Presiden Soekarno dan rombongan kembali ke rumah Kolonel Husein Joesoef untuk menonton pertunjukan dan hiburan yang disajikan masyarakat Bireuen. Esoknya Soekarno kembali ke Kutaraja dan tiba di sana pukul 18.30 WIB.[iskandar norman]

Melihat Lebih Dekat Pustaka Kuno Tanoh Abee

Posted on Updated on

Bagi sebagian masyarakat Aceh, terutama para mahasiswa, masih banyak yang tidak mengetahui tentang Perpustakaan Tanoh Abee. Perpustakaan ini berada di Seulimum yang saat ini dikelola oleh Ummi, istri Teungku Chik Tanoh Abee. Untuk berkunjung ke perpustakaan kuno ini kita harus menempuh perjalanan yang sedikit panjang. Dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu, kontributor The Globe Journal bersama-sama dengan Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, berhasil berkunjung ke perpustakaan kuno yang terkenal hingga ke luar negeri tersebut. Dari sumber lain dikatakan, menurut hasil penelitian Arkeologi Islam Indonesia, perpustakaan tersebut merupakan satu-satunya perpustakaan Islam tertua di Nusantara, bahkan termasuk perpustakaan Islam yang paling tua di Asia Tenggara!
Perpustakaan Tanoh Abee atau yang disebut juga Zauyah atau Tanoh Abee adalah milik pribadi keturunan Teungku Chik Tanoh Abee Al-Fairusi Al-Baqdadi (al-Baghdadi). Di dalam perpustakaan ini banyak tersimpan manuskrip-manuskrip tentang Islam. Seperti ilmu Fiqih, ilmu Tasawuf, ilmu Ibadah, ilmu Penciptaan Alam Semesta dan masih banyak ilmu-ilmu yang dibahas lainnya.
Perpustakaan ini sudah ada sejak abad 16 M. Uniknya dari perpustakaan ini adalah pesan Abu Tanoh Abee yang diteruskan oleh pihak keluarga, yaitu tidak membolehkan para muslimah untuk melihat kitab-kitab yang ada di dalam perpustakaan tersebut.
“Begitulah amanah abu kepada kami,” kata Umi yang diiyakan oleh seorang santri ketika kami mencoba menanyakan maksud dari larangan tersebut.
Semasa perang Aceh melawan Belanda yang berkecamuk dari tahun 1873-1913 M, Dayah (disebut juga Zauyah) Tanoh Abee tersohor sebagai salah satu tempat konsentrasi laskar Aceh. Di dalam dayah ini tersimpan banyak karya-karya klasik ulama-ulama nusantara bahkan Timur Tengah, yang semuanya itu disalin kembali oleh Abu Tanoh Abee. Manuskrip-manuskrip kuno itu berjumlah 6000 judul kitab.
“Sebagiannya ada yang dicuri oleh Belanda ketika perang berkecamuk, rusak akibat tersimpan lama di gua saat kitab-kitab ini disimpan untuk menjaga agar kitab-kitab tersebut tidak dicuri atau dibakar oleh Belanda, dan banyak juga yang terbakar akibat perang,” kata santri yang memandu kami masuk ke dalam perpustakaan kuno tersebut.
Umi kembali menjelaskan bahwa sebagian kitab ini juga sempat berada di sebuah dayah di Bitai, namun, akibat tsunami 2004 silam, kitab-kitab kuno itupun lenyap disapu gelombang tsunami. “Ada juga sebahagiannya dikubur oleh Abu (panggilan untuk Teungku Chik Tanoh Abee-red.), karena takut isi kitab-kitab tersebut dipelajari atau diamalkan oleh masyarakat awam (karena isinya sangat tidak mampu dipahami oleh manusia biasa,bisa menyebabkan murtad-red).”
Menurut catatan yang ada, saat ini manuskrip-manuskrip kuno ini dijaga dan dirawat oleh generasi ke sembilan Keluarga Al-Fairusi. Namun, sebenarnya ada juga karya-karya baru yang berada di perpustakaan ini. Manuskrip-manuskrip kuno ini sebenarnya tidak untuk dipelajari namun hanya dijadikan sebagai koleksi. Dan hanya beberapa kitab saja yang diperbolehkan dilihat dan dibaca. Selebihnya tersimpan rapat di dalam perpustakaan yang juga digunakan sebagai tempat pengajian tersebut.
Lantas, kenapa karya-karya ulama itu tidak boleh dibaca bahkan dipegang oleh orang lain?
Menurut istri Abu, atau akrab dipanggil oleh masyarakat sekitar sebagai Umi ini, hal ini sudah menjadi wasiat dari mendiang Abu Tanoh Abee. Bahkan, ada kitab-kitab yang berada satu lemari di dalam perpustakaan itu yang tidak boleh dirawat atau dibersihkan oleh keluarga beliau. 
“Pernah suatu hari, datang seorang peneliti asing ke rumah. Peneliti tersebut ingin melihat sendiri kitab-kitab berbahasa Arab yang menjadi koleksi Teungku Chik Tanoh Abee tersebut. Namun, setelah selesai membaca salah satu kitab tersebut, si peneliti tersebut terheran-heran dengan isi kitab tersebut, yang diluar batas ilmunya. Peneliti itupun akhirnya kagum terhadap kitab tersebut,” jelas Umi panjang lebar dengan logat melayunya yang khas.
Saat ini kitab-kitab ini sudah ditangani oleh pihak PKPM dan sebuah lembaga yang berada di Jepang. Oleh pihak Jepang, demi menjaga manuskrip-manuskrip kuno ini, kitab-kitab tersebut dibawa ke Jepang untuk disalin dan dicetak kembali tanpa mengubah isi untuk menjaga dari termakan oleh usia dan rayap.
Seperti dikatakan oleh Umi, di Zauyah ini banyak terdapat karya-karya ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Karya-karya klasik yang tersimpan disini antara lain milik Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nurruddin ar-Raniry, Abdurrauf As-Singkili (Teungku Syiah Kuala), Al-Ghazali dan lain sebagainya.

*sumber: http://www.theglobejournal.com/kategori/feature/melihat-lebih-dekat-pustaka-kuno-tanoh-abee.php

M. Nur El Ibrahimy: Federasi Solusi Terbaik Aceh

Posted on Updated on

Wawancara M. Nur El Ibrahimy dengan Majalah TEMPO, Setahun Sebelum Beliau Wafat. 
Muhammad Nur El Ibrahimy ibarat kaleidoskop dalam perjalanan sejarah Aceh. Al Khalik memberinya usia yang panjang sehingga ia dapat menyaksikan pergolakan demi pergolakan di negeri itu, sejak Perang Cumbok di masa awal kemerdekaan hingga pergolakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-yang kian menghebat dalam dua tahun terakhir ini. Dan Ibrahimy tidak hanya mengamati pergolakan dari jauh.

Pada periode 1945-1950, ia terjun langsung ke kancah pertempuran. Ketika pertentangan antara kaum ulama dan para hulubalang-dua kelompok dalam masyarakat Aceh yang secara tradisional berseberangan-memuncak dalam Perang Cumbok (sering juga disebut Peristiwa Cumbok), pria kelahiran Idi, Aceh Timur, ini memimpin pasukan dengan seribu anggota. Pada 12 Januari 1946, ia membawa pasukannya dari Aceh Utara dan Pidie, lalu bergerak dari Bireun untuk menyerang kalangan Cumbok. Lebih merupakan perang saudara, Peristiwa Cumbok dapat diatasi pada tahun 1946 itu juga.

Kendati berpengalaman dalam clash bersenjata, Ibrahimy tidak melanjutkan karirnya di bidang militer. Ia justru merekam pengalaman itu dalam berbagai tulisan. Beberapa bukunya telah diterbitkan, di antaranya tentang Teungku Daud Beureueh, pemimpin Gerakan Daud Beureueh (1953-1962)-dalam buku sejarah ditulis sebagai gerakan pemberontakan. Seluruh perjalanan hidup dan sepak terjang Daud Beureueh-tak lain adalah bapak mertua Ibrahimy-ia kumpulkan dalam buku berjudul Tgk. M. Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh. Namun, ia sadar, menulis sejarah-lebih-lebih yang mengungkap gejolak revolusi-membuatnya terpaksa menyinggung hal-hal yang telah lama terbenam dan seperti mencoba membangkitkan batang yang terendam. “Maka, dalam hal Aceh, tak semuanya bisa dibicarakan. Ada hal-hal yang sebaiknya kita pendam saja dalam guci-guci sejarah,” ujarnya kepada TEMPO.
Pertautan Ibrahimy dengan Teungku Daud-bekas pemberontak yang sangat dimuliakan oleh rakyat Aceh-terjalin melalui pernikahannya dengan Mariamah Nur, anak pertama sang Teungku. Keduanya telah bersama selama 62 tahun. Namun, sembilan tahun terakhir, Mariamah tak bisa lagi bercakap-cakap. Ia terbaring tanpa sadar di tempat tidur akibat stroke. Ternyata bukan hanya itu yang membuat Ibrahimy sulit tidur selama bertahun-tahun. “Tapi juga karena saya memikirkan Aceh,” ujarnya dalam suara bergetar. Itu pula alasannya menerima wawancara TEMPO. “Saya ingin sejarah Aceh dituliskan sebagaimana aslinya, tanpa harus diputarbalikkan,” ia melanjutkan.
Di masa mudanya (1930-1935), ia belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo. Ketika Aceh bergolak di awal kemerdekaan, Ibrahimy memilih aktif dalam dinas ketentaraan. Pada 1946, ia diangkat menjadi Kepala Staf Penerangan dan Pendidikan Tentara Rakyat Indonesia, Divisi Gajah 1 Aceh, dengan pangkat mayor. Dari bidang militer, ayah empat anak ini kemudian pindah ke dunia parlemen. Ia menjadi anggota DPR RI selama dua periode. Dalam periode pertama (1950-1955), ia mewakili Daerah Aceh. Periode berikutnya (1955-1960), ia duduk sebagai wakil Partai Masyumi.
Kini, dengan uang pensiun sebagai anggota DPR, H.M. Nur El Ibrahimy hidup sederhana. Fisiknya sudah amat rapuh. Namun, ingatannya akan detail-detail sejarah Aceh seperti menggetarkan kembali saraf-sarafnya yang tua. “Beberapa kemelut berdarah membuat Aceh hancur dan terbelakang. Tapi sejarah harus tetap ditulis-bahkan dari kehancuran-untuk memberikan ikhtisar kebenaran kepada generasi yang lebih kemudian,” tulis Ibrahimy di salah satu bukunya.
Wartawan TEMPO Setiyardi menemuinya pekan lalu-dalam suasana bulan Ramadan-di kediamannya, di Jalan Tebet Barat IV/16, Jakarta Selatan, untuk sebuah wawancara khusus. “Maaf, saya sudah tidak kuat lagi berpuasa. Sebagai denda, saya membayar fidyah kepada fakir miskin,” katanya.

***

*** Berikut ini petikan wawancara dengan Ibrahimy ***

Aceh dikenal memberikan banyak dukungan ekonomi kepada RI sejak masa awal kemerdekaan. Apa saja sumbangan Aceh di luar pembelian pesawat pertama RI?

Rakyat Aceh mengumpulkan strait dollar (S$) untuk biaya kantor perwakilan Indonesia di Singapura, untuk Kedutaan Besar RI di India, serta biaya untuk L.N. Palar-duta besar Indonesia pertama di PBB (1950-1953)-di New York.

Berapa uang yang terkumpul untuk keperluan tersebut?

Saya tidak punya catatan khusus. Tapi jumlahnya sangat besar. Sebagai contoh, selama Oktober-Desember 1949 saja, terkumpul S$ 500 ribu untuk keperluan pemerintah. Kemudian, rakyat Aceh mengumpulkan lagi 5 kilogram emas untuk membeli obligasi pemerintah. Saat itu, pemerintah kita sudah nyaris bangkrut.

Ke mana saja uang S$ 500 ribu itu “dibagikan”?

Saya masih menyimpan sebagian catatannya, antara lain untuk Angkatan Bersenjata (S$ 250 ribu), kantor pemerintah Indonesia (S$ 50 ribu), pengembalian pemerintah RI dari Yogya (S$ 100 ribu), dan S$ 100 ribu diserahkan kepada Mr. A.A. Maramis. Banyak lagi pengeluaran lain, tapi tidak semuanya tercatat.

Tentang obligasi di atas. Dari mana rakyat Aceh tahu tentang penjualan obligasi?

Teungku Daud Beureueh yang memberi tahu. “Pemerintah kita hampir bangkrut. Beli… beli obligasi pemerintah,” katanya. Rakyat Aceh tidak ada yang berani menentang. Celakanya, kepercayaan rakyat disia-siakan. Sampai kini, obligasi itu tidak pernah dibayar.

Di luar soal ekonomi, Aceh juga berperan dalam pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), 1948-1949. Sejauh mana dukungan Aceh saat itu?

Kami menerima Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Presiden PDRI, yang hijrah dari Bukittinggi ke Aceh karena situasi di Bukittinggi tidak aman.

Dan Mr. Sjafruddin pula yang membentuk Provinsi Aceh, yang ditentang Bung Karno. Bagaimana ceritanya?

Setelah ia tiba di Aceh, saya, Teungku Daud Beureueh, Hasan Aly, Ayah Gani, dan Teuku Amin meminta agar Provinsi Aceh segera dibentuk. Tapi, baru delapan bulan berdiri, Provinsi Aceh dibubarkan. Ibaratnya, tiket yang sudah di tangan ditarik lagi oleh pemerintah pusat. Okelah kalau janji-janji lain tidak ditepati. Tapi jangan tiket yang sudah di tangan ditarik lagi.

Sjafruddin adalah tokoh Masyumi. Menurut Teungku Syech Marhaban-penasihat Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)-ada peran Masyumi dalam kemunduran Aceh. Apa pendapat Anda?

Tidak benar. Provinsi Aceh dibubarkan oleh Kabinet Halim (Januari-September 1950) dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 yang ditandatangani oleh Penjabat Presiden Mr. Asaat dan Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtoprodjo. Dan Susanto orang PNI, bukan Masyumi.

Seberapa dalam kekecewaan Aceh karena pemerintah menarik “tiket yang sudah di tangan?”

Itu hanya awal kekecewaan rakyat. Pada Maret 1955, terjadi pembunuhan massal. Ada 64 orang yang tidak bersalah di kampung Cot Juempa, Aceh Besar, dibariskan di lapangan, lalu ditembak.

Bukankah mereka dibunuh karena terlibat gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)?

Waktu itu memang ada DI/TII. Tapi mereka bukan yang bersalah. Mereka cuma ikut-ikutan.

Bagaimana sebetulnya hubungan Gerakan Daud Beureueh dengan DI/TII Kartosuwiryo?
Negara Islam Aceh sengaja dicantolkan dengan Gerakan Kartosuwiryo demi kepentingan politik. Padahal, secara struktural, tidak ada hubungan antara Negara Islam Aceh dan gerakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Kartosuwiryo pernah mengirim seorang utusan kepada Teungku Daud. Lalu, pada 21 September 1953, bukankah Teungku Daud memaklumkan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) berdasarkan pernyataan Negara Republik Islam Indonesia oleh Kartosuwiryo pada Agustus 1949?

Memang Kartosuwiryo pernah mengutus seorang pemuda bernama Fatah untuk menemui Teungku Daud. Tapi hal itu tidak menunjukkan bahwa Negara Islam Aceh merupakan bagian dari DI/TII Kartosuwiryo. Apalagi, saat meletus pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, 1957-1961-Red.), Teungku Daud memutuskan “hubungan” dengan DI/TII Kartosuwiryo, yang sudah hampir ditumpas. Ia kemudian beralih ke PRRI.

Dasar pemberontakan Daud Beureueh dan PRRI amat berbeda. Yang satu perjuangan agama, yang lain cenderung sekuler. Mengapa mau bersatu?
Latar belakang kedua gerakan ini memang sangat berbeda. Tapi ada persamaan sikap politik, yaitu menentang dominasi pemerintah RI. Tujuan jangka pendeknya adalah agar Bung Karno cepat jatuh.
Bukankah Kolonel Simbolon, Panglima Teritorium dan Tentara (TT) I/Bukit Barisan, yang akhirnya menjadi tokoh PRRI, pernah menumpas Gerakan Daud Beureueh?
Itu kan dilakukan Simbolon sebelum bergabung dengan PRRI. Waktu itu, Simbolon bertempur untuk melawan gerakan DI/TII Daud Beureueh. Tapi, setelah Simbolon melakukan pemberontakan PRRI, mereka bisa saling mendukung. Rakyat Aceh sebetulnya sangat mendukung Gerakan Daud Beureueh.
Tapi mengapa bisa dipatahkan oleh tentara?

Pada mulanya, semua pihak di Aceh mendukung Gerakan Daud Beureueh. Tapi, setelah sembilan tahun, rakyat mulai bosan. Akhirnya, ada satu kelompok yang membentuk Dewan Revolusi yang dipimpin Hasan Saleh. Mereka memisahkan diri dari Teungku Daud dan berunding dengan pemerintah Indonesia.

Kabarnya, Teungku Daud sampai “menghalalkan darah” Hasan Saleh?

Kalau orang sedang marah, semua hal bisa diucapkan. Sebelum dicopot, Hasan menjadi menteri urusan perang dalam Gerakan Teungku Daud.

Tapi perundingan Hasan Saleh bukankah bisa menghasilkan status daerah istimewa bagi Aceh?
Benar. Mr. Hardi, wakil pemerintah, bertemu dengan Hasan Saleh dan Ali Hasjmy, membentuk Daerah Istimewa Aceh. Tapi itu hanyalah trik. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa konsep “daerah istimewa” tetap terkait dengan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Berarti, keistimewaan itu omong kosong belaka.
Mengapa “omong kosong” itu bisa berlangsung lama?

Memang mengherankan-betapa penipuan itu berlangsung puluhan tahun, sampai tumbangnya rezim Soeharto. Anehnya, tiap tahun, Pemerintah Daerah Aceh merayakan ulang tahun pemberian status “daerah istimewa” tersebut.

Sebagai wakil Aceh di DPR RI ketika itu, apa yang Anda lakukan?

Saat terjadi pemberontakan, Kolonel M. Yasin, Panglima TT I/Bukit Barisan, memerintahkan agar Nya’ Adam Kamil, Kepala Staf Kodam, menghubungi saya. Mereka meminta saya pulang untuk memecahkan deadlock antara tentara dan Teungku Daud. Saya menemui Teungku Daud di hutan. Kami berdialog selama lima hari lima malam. Akhirnya, mereka setuju turun dan kembali ke pangkuan RI.

Dengan syarat Aceh boleh menerapkan syariat Islam?

Benar. Pesan itu saya sampaikan kepada Kolonel Yasin. Ia lalu mengadakan rapat bersama gubernur, kepala kejaksaan, kepala polisi, dan lain-lain. “Saya setuju dengan tuntutan Teungku Daud Beureueh. Ini taruhan saya,” kata Yasin sambil mencopot pangkat di pundaknya.

Teungku Daud Beureueh pernah mendiskusikan soal negara Islam dengan Bung Karno. Seberapa jauh pembicaraan mereka?
Pada 1947, Bung Karno datang ke Aceh dan bertemu dengan Teungku Daud. “Saya minta kepada Kakak agar rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan Indonesia,” ujar Bung Karno kepadanya. Teungku bersedia membantu perjuangan itu dengan syarat “perjuangan ini untuk membela agama, sehingga kami akan mati syahid.” Ia menjawab ucapan Bung Karno sembari menyodorkan kertas.
Untuk apa?

Untuk meminta Bung Karno membuat pernyataan tertulis bahwa ia memang akan membuat Provinsi Aceh berdasarkan syariat Islam. Sukarno menitikkan air mata. “Kok, sebagai presiden tidak dipercaya?” ujar Bung Karno. “Bukannya kami tidak percaya. Surat itu akan saya tunjukkan kepada rakyat Aceh yang akan diajak ke medan perang,” sahut Teungku. Bung Karno lalu bersumpah, “Wallahi, billahi, saya akan menggunakan kekuasaan saya untuk memenuhi keinginan Kakak. Akan saya bentuk daerah otonom Aceh yang bisa menjalankan syariat Islam.” Ia bersumpah menjalankan syariat Islam di Aceh.

Menurut Anda, Bung Karno serius?

Saya tidak tahu persis karena tidak menyaksikannya sendiri saat sumpah itu diucapkan. Tapi rakyat Aceh sangat kecewa mendengar pernyataan Sukarno di Amuntai, Kalimantan, setelah itu. Dalam pidatonya, Bung Karno menyatakan pemerintah tidak akan menolerir kehadiran negara Islam.

Seperti apa konsep negara Islam yang diinginkan Teungku Daud Beureueh?

Penerapan syariat Islam dalam segala segi kehidupan rakyat. Hukum Islam kan sudah lengkap: hukum menjalankan negara, hukum jual-beli, hukum perkawinan, dan sebagainya.

Kembali ke soal pemberontakan. Bagaimana rasanya menjadi anggota parlemen sembari punya mertua yang sedang berperang di hutan?
Memang agak dilematis. Dalam sebuah acara di DPR, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyebut saya sebagai “pembela pemberontak yang paling setia.” Ha-ha-ha….
Apakah Anda mendukung pemberontakan itu?
Dua bulan sebelum memproklamasikan pemberontakannya-pada 23 September 1953-Teungku Daud mengutus Ayah Gani untuk menemui saya. “Buah di atas pohon sudah sangat matang. Kalau tidak dipetik sekarang, nanti akan diambil orang,” begitu bunyi pesan dalam surat yang dibawa Gani.
Apa artinya?

Semangat memberontak sudah menyebar di seluruh Aceh. Kalau tidak disatukan dan dipimpin, situasi akan lebih kacau karena rakyat akan memberontak sendiri-sendiri.

Lalu, apa sikap Anda?

Secara pribadi, saya setuju dan berdoa untuk pemberontakan itu. Tapi saya katakan kepada Ayah Gani bahwa rakyat Aceh tidak memiliki biaya yang cukup. Tidak ada senjata. Kalau ada pihak asing yang menyokong dengan dana dan senjata, barangkali saya akan ikut berperang di hutan.

Selain dengan Teungku Daud, Anda punya hubungan dengan tokoh pergerakan Aceh lainnya: Hasan Tiro. Bagaimana hubungan ini berawal?
Dia salah seorang murid saya di Sekolah Normal Islam di Bireun, Aceh. Otaknya sangat brilian. Karena itulah saya memberinya berbagai jenis buku: agama, ekonomi, juga soal komunis. Beberapa tahun kemudian, dia berangkat ke Amerika lewat Filipina untuk belajar di Columbia University.
Apa betul Hasan Tiro pernah diminta membeli senjata untuk Gerakan Daud Beureueh?
Benar. Ketika Hasan Tiro di Amerika, dia dikirimi sejumlah uang untuk membeli senjata. Nah, karena pengiriman ini tidak terlaksana, beberapa orang seperti Hasan Saleh menjadi sangat kecewa terhadap Hasan Tiro. Di awal pemberontakan, Hasan Tiro mengangkat dirinya sebagai Duta Besar Negara Islam Aceh untuk PBB, tapi ditolak badan dunia itu. Ia hendak diusir oleh pemerintah Amerika. Berkat pertolongan dua senator, ia diizinkan tinggal di Amerika dengan membayar US$ 500.
Mengapa Hasan Tiro disebut sebagai wali negara? Apakah benar ia merupakan keturunan langsung Teungku Cik Di Tiro?
Memang ada berita seperti itu. Hasan Tiro merupakan cucu dari Cik Di Tiro. Tapi tidak diketahui dari Cik Di Tiro mana-di Aceh banyak Cik Di Tiro. Lagi pula, jalur yang dimiliki sampai ke Cik Di Tiro adalah jalur dari ibu-sementara Aceh menganut sistem patrilineal. Sebutan wali negara tidak jadi masalah. Itu gelar untuk pemerintahan-sederajat dengan gubernur-jadi bukan gelar kesultanan.
Bagaimana hubungan Hasan Tiro dengan Daud Beureueh?

Baik. Hasan Tiro pernah belajar di Pesantren Blang Paseh yang dipimpin Teungku Daud. Mungkin karena hubungan itulah, di saat Teungku Daud sudah tua, dia kembali terkena masalah. Pada 1978, ia diminta pemerintah-saat itu di bawah rezim Soeharto-untuk menjadi “saksi” sebuah kasus jihad di Surabaya. “Saya sudah tua. Ke masjid yang dekat pun sudah tidak pernah lagi. Saya buat kesaksian tertulis saja,” kata Teungku Daud. Tapi ia kemudian dibawa secara paksa ke Jakarta.

Lantas, ke mana ia dibawa?

Kasus jihad di Surabaya itu cuma fiktif. Teungku kemudian diasingkan di rumah menantunya Brigjen Muhammadiyah Hadji. Beberapa bulan kemudian, dia pindah ke rumah kontrakan dan hidup seperti burung dalam sangkar. Beberapa tahun kemudian, baru dia dipulangkan ke Aceh, tapi tetap dijaga tentara. Rakyat tidak boleh menengoknya.

Apakah saat itu Teungku Daud terang-terangan mendukung GAM Hasan Tiro?

Saya tidak yakin. Saat itu, Teungku Daud sudah sangat tua.

Sebagai bekas guru Hasan Tiro, apakah Anda sering berkontak saat ia membangun GAM?

Saya tidak pernah mengontaknya. Memang, pada 1959, saat saya sebagai anggota DPR berkunjung ke Amerika, kami bertemu karena Hasan Tiro yang menjadi penunjuk jalan di sana. Lalu, sekitar 10 tahun lalu, saat dia pulang ke Indonesia, Hasan Tiro mampir ke rumah saya di Jakarta. Saat itu dia sudah tidak dicekal. Tapi, sewaktu berangkat ke Swedia, dia kembali dicekal pemerintah.

Bagaimana figur Hasan Tiro di mata Anda?

Saya amat mengagumi kecerdasannya. Saya adalah orang yang dibesarkan dalam dunia akademis. Sewaktu bersekolah di Al-Azhar, Kairo, saya bergaul dengan berbagai jenis buku. Tapi, ketika saya menemui Hasan Tiro di Amerika, saya sungguh kagum dengan koleksi bukunya. Masya Allah, kok, bisa sebanyak itu!

Apa pendapat Anda tentang kondisi GAM sekarang-dibandingkan dengan GAM-nya Hasan Tiro pada 1976?
Saat ini GAM sudah terpecah-pecah. Ada GAM Hasan Tiro, ada GAM Huseini di Malaysia, bahkan saya mendengar sudah ada GAM-GAM-an seperti GAM Cijantung. Ini membingungkan rakyat. Makanya, masalah Aceh saat ini sudah sangat rumit. Banyak faksi yang terlibat. Kalau pemerintah mau berdialog, sulit untuk memilih lawan dialognya. Dulu, pada suatu masa, untuk membicarakan masalah Aceh, pemerintah, misalnya, tinggal berbicara dengan Teungku Daud Beureueh. Dia relatif mewakili seluruh kepentingan Aceh pada masa itu.
Apakah Anda punya pendapat pribadi soal penyelesaian Aceh?
Banyak opsi yang ditawarkan. HUDA menginginkan opsi merdeka. Mereka tidak bisa ditawar lagi. Padahal, kalau kemerdekaan bagi Aceh dipaksakan, akan terjadi pertumpahan darah. Pemerintah pusat dan DPR tidak menerima kemerdekaan Aceh sehingga TNI bisa kembali ke Aceh untuk menumpas rakyat. Sedangkan opsi otonomi yang seluas-luasnya juga tidak akan diterima rakyat. Sebab, kini rakyat menganggap bahwa otonomi luas hanyalah tipuan Jakarta.
Kalau harus memberi pilihan, kira-kira apa yang Anda pilih?

Negara federal. Memang, ini pun banyak ditentang orang. Tapi, kalau kita ingin mempertahankan Aceh, itu solusi yang paling tepat. Dengan federalisme, rakyat Aceh akan merasa seperti sudah merdeka. Indonesia juga tidak perlu kehilangan Aceh. Aceh bisa mengurus dirinya sendiri kecuali untuk tiga bidang: pertahanan, hubungan luar negeri, dan bidang keuangan.

Sejak zaman kolonial dulu, rakyat Aceh dikenal sangat keras-seakan-akan ada “potensi pemberontakan” di dalam dirinya. Mengapa?
Orang Aceh keras dan tidak bisa dihina. Kalau sakit hati, mudah memberontak. Ini memang karakter khas orang Aceh. Dulu, Belanda sulit menguasai Aceh. Sekarang, Indonesia pun pusing karena masalah Aceh.
****

Di Post di Majalah Tempo Interaktif, majalah.tempointeraktif.com
sumber: ATjehcyber.tk

Legenda dan Keindahan Tapaktuan

Posted on Updated on

Legenda Tapaktuan merupakan salah satu cerita legenda masyarakat Tapak Tuan di Aceh Selatan. Cerita ini mengisahkan asal usul sejumlah nama di kecamatan dalam Kabupaten Aceh Selatan dan asal usul nama Tapaktuan yang dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan yang hingga sekarang masih dapat kita saksikan seperti kuburan dan Jejak kaki Tuan Tapa, batu merah dan batu itam.

Di dalam cerita itu dikisahkan perjalanan hidup Tuan Tapa, seorang pertapa yang sangat taat kepada Allah. Karena ketaatannya, Tuan Tapa dapat mengetahui hal-hal gaib yang tidak diketahui manusia biasa.
Kisah ini menceritakan tentang perebutan sepasang Naga (Jantan dan Betina) dengan orang tua sang putri. Legenda klasik ini terus merakyat di Tapaktuan. Secara turun temurun, legenda itu terus berkembang. Bahkan remaja yang hidup di zaman modern ini, di Tapaktuan juga mengetahui cerita ini.
Dalam beberapa waktu yang lalu, Pengurus pernah melakukan pemostingan tentang Kisah Ini, Sobat dapat melihat kembali disini (Legenda Muasal Kota Naga Tapaktuan), Namun, karena isi artikel tsb kurang otentik dengan sebagaimana legenda yang telah di kisahkan. Saya berniat melakukan pengeposan ulang dengan sedikit melengkapi dari berbagai referensi dari buku dan artikel yang saya dapatkan dalam pertualangan saya di internet mengenai legenda ini. Komentar-komentar sobat ACW di facebook saya tayangkan kembali di bawah dalam Artikel “Legenda Muasal Kota Tapaktuan”   agar sobat dapat mengkritisi Artikel ini bila ada kesalahan penulis dalam menulis artikel ini.
Sebenarnya, Legenda ini memiliki alur cerita yang sama. Namun, hanya saja cara penyampaiannya yang berbeda-beda. Yang pasti dalam semua cerita yang disampaikan tokoh adat atau masyarakat biasa tentang legenda ini tak terlepas tiga hal, yaitu ada Dua ekor Naga, Tuan Tapa. Putri Bungsu. Dan Lalu, adanya pertempuran itu. Semoga pesan moral dari legenda ini, bermanfaat bagi sobat pembaca.

******
Alkisah, seperti hari-hari sebelumnya, kedua naga itu kembali berenang ke laut mencari makan, sekarang mereka pergi ke barat. Mereka meluncur menyusuri kawasan pinggir pantai menuju ke daerah barat. Mereka membelah ombak lautan yang bergulung-gulung.

Setelah kedua naga berenang beberapa saat, mereka melihat sekelompok udang besar yang sedang berenang menuju ke muara sungai.

Kedua naga itu berenang semakin cepat. Setelah dekat dengan kelompok udang, dihirupnya air laut kuat-kuat sehingga seluruh udang masuk ke dalam perut mereka. Hingga sekarang, tempat itu disebut Desa Air Berudang dan termasuk salah satu desa di Kecamatan tapaktuan.
Suatu ketika sepasang naga sedang berjalan-jalan menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan tiba-tiba berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di tengah laut. Titik hitam itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik hitam itu mendekat ke arah sang naga. Gelombang laut yang membawanya mendekat. Si Naga Jantan dan Betina terus memperhatikan titik hitam itu.
Dari tengah lautan, mereka mendengar suara tangis bayi. Suara tangis itu semakin lama semakin keras dan jelas. Sepasang Naga itu pun berenang mendekati titik hitam tersebut di tengah lautan.
Sang Naga terjun alang kepalang. Titik hitam itu adalah benar sesosok bayi manusia yang menangis keras, diombang-ambingkan gelombang di dalam sebuah ayunan yang terbuat dari anyaman rotan. Anehnya, ayunan rotan itu tidak kemasukan air.
Pasangan Naga ini sangat senang mendapatkan putri berbentuk manusia. Konon naga itu memang sudah lama mengidam-idamkan seorang putri. Kedua Naga itu sangat menyanyangi putri pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil dalam cengkeramnya agar tidak hilang.
Demikianlah, waktu terus berganti. Dari hari ke hari, bayi itu terus tumbuh normal dan sehat sebagaimana bayi manusia lainnya. Putri kecil tersebut diberi nama Putri Bungsu. Mereka sangat mengasihi putri ini. 
Bahkan Naga Jantan menciptakan tempat bermain nan indah di gunung itu. Semua buah-buahan dan minuman tersedia disana. Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu betah tinggal bersama mereka. Putri inilah yang kemudian disebut sebagai Putri Naga.

Pada suatu hari, kedua naga itu membawa putri kesayangan mereka pergi berjalan-jalan menikmati pemandangan daerah Teluk yang indah mempesona.

Sang Putri dinaikkan ke punggung Naga Jantan yang telah siap mengarungi kawasan pantai Teluk. Naga Betina berenang mengiringi dari belakang. Sang Naga betina itu sangat cemas jika putri cantik rupawan itu terjatuh dari punggung naga dan tenggelam. 

Diam-diam sang Putri melontarkan rasa kekagumannya. Ia senang melihat keindahan alam pantai Teluk yang masih asri. Demikianlah keadaan sang Putri, ia terhibur selalu dengan sikap kedua naga itu.
Waktu terus bergulir, Putri Bungsu pun merangkak remaja. Dia menetap bersama naga disebuah gua yang dalam. Suatu hari, sang Putri Bungsu secara tak sengaja mendengar obrolan sepasang Naga. Dari luar gua dia terus menyimak percakapan itu. Dia tersentak. Sadar, bahwa dirinya bukan keturunan naga. Dia memiliki orang tua yang juga berasal dari bangsa manusia.
Niat untuk melarikan diripun muncul dalam benaknya. Putri Bungsu tidak gegabah. Dia bersabar untuk menemukan waktu yang tepat melarikan diri dari gunung itu. Dia takut akan kesaktian kedua naga tersebut.
Waktu yang dinantikanpun tiba. Dari atas gunung, Putri Bungsu melihat sebuah kapal berlayar dibawah kaki gunung itu. Gunung ini memang tepat berada di depan laut. Naga Jantan kala itu sedang tertidur dipinggir laut. Perlahan dia mengangkat kaki, sedikit menjinjing agar langkahnya tidak didengar Naga Jantan.
Perahu layar semakin dekat. Dia bimbang. Teringat akan kesaktian naga tersebut. Jarak Naga Jantan beristirahat dengan laut sangat dekat. Khawatir ketahuan, diapun mengurungkan niat untuk kabur dari gunung itu.
Siang-malam Putri nan cantik jelita itu mencari akal. Ide cemerlang pun muncul dikepalanya. Satu dia mengajak pasangan Naga berjalan-jalan menyusuri pantai di pulau itu. Naga kelelahan dan tertidur pulas. Putri Bungsu tak menyianyiakan kesempatan emas itu. Kakinya diseret ke atas sebuah bukit kecil yang dekat dengan laut. Agar dia bisa melihat perahu yang melintas.
Jarang sekali perahu yang mahu mendekat ke pulau itu. Namun hari itu keberuntungan Putri Naga. Sebuah perahu kecil merapat. Dia melambaikan tangan. Awak perahu ada yang menyapanya.
Perahu itulah yang membawa putri bungsu pergi, Putri bungsu naik ke atas kapal dan ikut bersama awak kapal itu. Naga yang baru terbangun dari tidur, terkejut setengah mati. Putri kesanyangannya telah pergi. Dalam benaknya, Naga berujar, pasti perahu itu yang melarikan putriku. Dia mengejar perahu yang berjalan sangat pelan itu.
Sepasang Naga itu mengejar perahu tersebut. Sementara itu, di Gua Kalam, tidak jauh dari bukit itu, seorang manusia sedang bertapa. Dia tersentak dari pertapaanya. Seakan dia sadar akan ada bencana besar dibumi. Inilah Tuan Tapa.
Dia keluar dari gua tersebut. Lalu menatap ke laut lepas. Terlihat sepasang Naga dengan kemarahan puncak sedang mengejar sebuah perahu nelayan. Tuan Tapa terkenal dengan tongkat saktinya.
Hal itu menyebabkan terjadinya pertarungan sengit antara kedua naga dengan Tuan Tapa. Mereka bertarung untuk memperebutkan bayi yang kini telah menjadi seorang putri yang cantik yang diberi nama Putri Bungsu.

Ketika Naga Jantan melancarkan serangan berikutnya, Tuan Tapa menyambut dengan libasan tongkatnya. Tubuh naga pun terpelanting ke udara dan jatuh berkeping-keping di pantai. Darah dari tubuh naga jantan yang hancur itu tumpah kemana-mana dan memerahkan tanah, bebatuan dan lautan.

Naga Betina pun mulai menyerang Tuan Tapa, Namun serangan itu dapat dipatahkan oleh Tuan Tapa, meskipun tongkat dan topi Tuan Tapa sempat tercampak ke laut, dan hingga sekarang tongkat dan topi itu masih ada dan telah menjadi batu yang terdapat di kawasan pantai Tapaktuan. Sementara Naga Betina yang hendak melarikan Putri Bungsu gagal. Malah hewan itu mengamuk sambil melarikan diri ke negeri Cina.
Dalam pelariannya itulah Naga Betina membelah sebuah pulau di kawasan Bakongan hinga menjadi dua bagian, dan hingga sekarang pulau itu bernama Pulau Dua. Bahkan hewan itu mengamuk sambil memporak porandakan sebuah pulau. Pulau itu terpecah-pecah hingga 99 buah. Itulah hingga kini disebut Pulau banyak yang terdapat di Kabupaten Aceh Singkil.

Akhirnya Tuan Tapa berhasil mengalahkan kedua naga tersebut. Sang Putri pun dapat kembali bersama orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka. Mereka memilih menetap di Aceh. Keberadaan mereka di Tanah Aceh diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan. 

Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit. Seminggu kemudian Tuan Tapa meninggal dunia pada Bulan Ramadhan Tahun 4 Hijriyah . Jasadnya dikuburkan di dekat Gunung Lampu, tepatnya di depan Mesjid Tuo Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, dan hingga sekarang makam manusia keramat itu masih bisa kita saksikan hingga saat ini. 
Hingga sekarang bekas tubuh naga yang berupa gumpalan darah itu masih dapat kita lihat di pantai berupa tanah dan batu yang memerah. Kini disebut dengan Tanah Merah. Batu Merah, sekitar tiga kilometer dari kota Tapaktuan. Kini gumpalan darah dan hati tersebut telah mengeras menjadi batu. 
Sedangkan hati sang Naga, yang pecah dan terlempar menjadi beberapa bagian akibat pukulan tongkat sakti Tuan Tapa, peninggalannya hingga sekarang masih terlihat berupa batu-batu berwarna hitam berbentuk hati. Daerah ini kemudian diberi nama Desa Batu Hitam, masih dikecamatan yang sama.
Pada waktu Tuan Tapa hendak membunuh sang naga, terjadi kejar-kejaran antara Tuanku Tapa dan sang naga. Maka pada suatu ketika, berbekaslah tapak kaki Tuan Tapa ini. Sekarang yang masih terlihat hanya sepasang telapak kaki sangat berjauhan, di batasi oleh gunung tempat naga tinggal sebelumnya. Jejak tapak kaki tersebut, seperti jejak seseorang yang melangkahi gunung, karena tak dapat ditemukan jejak yang sama di antara kedua jejak tersebut.

Ukuran jejak kaki tersebut adalah 3 x 1,5 meter. Jejak kaki yang sebelah kanan, berada di pinggir laut diatas sebuah batu. Sedangkan jejak kaki sebelah kiri berada di dalam kota di atas tanah. Antara jejak satu dan yang satunya lagi lebih kurang berjarak 500 meter. Diberilah nama daerah yang terdapat jejak “Tapak Tuan Tapa” itu dengan nama kota “Tapak Tuan“, atau juga sering disebut “Kota Naga Tapak Tuan“.

Di tempat pertempuran Naga dan Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Tongkat mirip baru itu, dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa. Lalu, bagaimana nasib sang Putri? Beberapa tokoh masyarakat di daerah itu menceritakan, dalam legenda tersebut dikisahkan sang Putri akhirnya kembali hidup normal layaknya manusia dan hidup bahagia bersama kedua orangtuanya. Putri Bungsu kemudian mendapat julukan sebagai ‘Putri Naga’.
Karena kisah ini pula, orang menyebutkan Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Bahkan, jika memasuki kota Tapaktuan pemerintah Daerah Aceh Selatan mengukir gambar naga tepat di dinding pinggir jalan. Sekitar seratus meter dari arah timur kantor Bupati Aceh Selatan.

Demikianlah kisah Cerita Legenda Tapaktuan ini saya sampaikan apa adanya, dan mari kita ingat bahwa segala sesuatu yang sifatnya legenda adalah dongeng belaka tapi bila kita baca semua alur cerita legenda ini dalam Buku Legenda Tapaktuan yang ditulis oleh Darul Qutni Ch ini banyak mengandung pendidikan dan budi pekerti yang tidak menyimpang dari aqidah agama Islam yang mulia dan tercinta itu, serta tidak akan membuat pembaca menjadi syirik dan sesat.

Jika kita pergi ke Tapak Tuan Aceh Selatan, tapi belum mengunjungi area tapak kaki tersebut, maka seolah-olah kita belum sampai ke Tapak Tuan. Dan di dukung dengan panorama alam yang sangat luar biasa, Tahukan anda, bahwa Tapak Tuan merupakan salah satu Kota terindah di Sumatera. Jadi, bagi yang penasaran, Silakan langkahkan kaki anda ke sana …!!

* Pemandangan Panorama Alam Si Kota Naga Tapak Tuan *
Surfing Tapak Tuan


Garis pantai Tapaktuan

Jejak Telapak Kaki Tuan Tapa

The Beach of TapakTuan 
Tapaktuan, Most beautiful Place of Sumatera 

Best Ever place in Tapak Tuan
Kampung Batu Hitam

Tapak Tuan with Sunset 

The Dragon City
Makam Tuan Tapa
TapakTuan of the Village 

 (Dari berbagai Sumber Lisan dan Tulisan)

Kisah Aceh dan Indonesia

Posted on Updated on

Legenda Pahit Rakyat dan Para Saudagar Aceh

Aceh, seakan tak pernah henti menyusui Indonesia. Salah satu sumbangan yang tak kalah penting adalah. Tampilnya Teuku Markam, seorang pengusaha Aceh yang menyumbangkan sekitar 35 kilogram emas murni untuk pembangunan Tugu Monumen Nasional (Monas) di Jakarta. Tugu Monas, kini menjadi ikon Kota Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia.
Lagi-lagi, Soekarno dengan kelihaian rethorikanya, membujuk Teuku Markam untuk ikut dan berperan serta dalam proyek prestise ini. Saat itu, setidaknya, Soekarno ingin menunjukkan kepada dunia, Indonesia mampu sejajar dengan bangsa lain. Kalau di Paris ada menara Efiel, di China ada tembok raksasa, di Indonesia ada Monas. Begitulah Soekarno dengan segala sifat ambisiusnya.
Secara beruntun, kemudian lahir perusahaan vital lainnya seperti PT. AFF, PT.ARUN. PT. PIM, PT. KKA serta PT. Aromatic (Humpus Grup). Belum lagi, sumber daya alam seperti kayu dan bahan tambang. Intinya, konstribusi Aceh bagi dana pembangunan Indonesia, menjadi sisi lain dari sebuah perjalanan sejarah Indonesia. Dan, sebutan Aceh sebagai Daerah Modal Perjuangan serta Pembangunan, menjadi sahih adanya.
Dari hasil minyak dan gas, Aceh tiap tahunnya menyetorkan Rp 10,6 triliun atau 43 persen dari total penerimaan negara untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh tahun 1997/1998, Rp 328 miliar. Tragisnya, tahun 1998-1999, malah turun jadi Rp 153 miliar.
Kekayaan alam Aceh, yang menjadi pendapatan utama daerah tersebut adalah gas alam. Pusat pengolahan gas alam cair (LNG) yang bahan bakunya dieksploitasi dari daratan dan lepas pantai Aceh, diolah di Lhokseumawe, Aceh Utara. Produksi LNG menghasilkan devisa yang besar, setidaknya memberikan sumbangan sebesar 30% dari total ekspor gas dan minyak Indonesia. Penambangan dan pengolahan LNG dilakukan Exxon Mobil dan Pertamina.
Menariknya, saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1997-1999. Lagi-lagi, Aceh menunjukkan kesetiaannya kepada republik Indonesia. Saat itu, Aceh dipimpin Syamsuddin Mahmud, seorang pakar ekonomi dan mantan Rektor Unsyiah. Melalui putri Soeharto, Siti Indriati Indra Rukmana atau Mbak Tutut. Pak Syam, menyerahkan sekitar 20 kilogram emas serta puluhan lembaran dolar Amerika Serikat bernilai 100 $ per lembarnya kepada Mbak Tutut. Tujuannya, untuk menopang perekonomian negeri ini yang waktu itu sudah terpuruk akibat dihantam krisis moneter atau krismon.
Pada awal masa kemerdekaan, untuk menopang pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk, para saudagar Aceh juga memeiliki peran vital. Mereka menerobos blokade ankatan laut Belanda untuk menyeludupkan barang datgangan hingga ke Semenanjung Malaysia. Ketika kontak dengan Jakarta tersedat, Residen Aceh mengeluarkan mata uang sendiri. Tapi hak para saudagar Aceh itu pun kemudian diabaikan.
Ironisnya, meski Soekarno menyangjung habis Aceh sebagai daerah modal, karena telah mendanai republik, para sudagar Aceh itu kemudian harus berjuang ke pengadilan untuk menuntut haknya. Hutang mereka ditolak pembayarannya oleh pemerintah.
Sebuah kisah perjudian nasib dilakoni para saudagar Aceh. Untuk bisa menjual karet, getah dan komoditas lainnya ke Malaysia dan singapura, para eksportir asal Aceh mesti bertarung di lautan dengan angkatan laut Belanda di Selat Malaka.
Penjualan barang ke Malaysia dan Singapura untuk mendanai republik tersebut, lebih tepatnya disebut sebagai penyeludupan. Setiap saat kapal yang membawa barang ke negeri jiran itu, harus mengelabui armada angkatan laut Belanda yang berpatroli di Selat Malaka.
Salah satu yang sangat fenomenal adalah usaha penyeludupan karet pengusaha asal Aceh oleh Jhon Lie, warga Indonesia keturunan Cina asal Menado ini mendapat perintah dari Menteri Pertahanan RI, Mr Ali Budiardjo untuk menjual kareta asal Aceh ke Semenanjung Malaysia. Hasil penjualan karet milik saudagar Aceh itu digunakan untuk membiayai perjalanan keliling dunia Menteri Luar Negeri RI, H Agus Salim.

Beberapa saudagar Aceh yang memainkan peranan dalam kontak datgang dengan negeri jiran itu antara lain, Muhammad Saman dari PT Puspa, Nyak Neh dari Lho’ Nga Co, Muhammad Hasan dari Perdagangan Indonesia Muda (PIM) dan Abdul Gani dari Mutiara. Barang-barang seludupan saudagar Aceh tersebut dikoordinir oleh Oesman Adamy dan diseludupakan oleh Jhon Lie. Sampai di Semenanjung Malaysia barang-barang tersebut ditampung oleh pengusaha asal Aceh, diantaranya Teuku Makam, Jaâfar Hanafiah, dan Ali Basyah Tawi. 

Dalam perniagaan tersebut, awalnya menggunakan alat tukar uang Republik Indonesia. Tapi karena faktor keamanan yang semakin memburuk, maka daerah keresidenan Aceh mengeluarkan mata uang sendiri. Saat dimasukkan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1948 juga mengeluarkan uang kertas sendiri.
Untuk menopang perekonomian, serta sebagai alat transaksi, selama tujuh hari saja, 2 sampai 8 Mei 1949, dicetak uang rupiah oripsui sebayak 156.750.000 yang terdiri atas 405.000 lembar Rupiah Oripsu 250, dan 111.000 lembar Rupiah Oripsu 500.
Adalah Abdul Muid, pegawai keuangan yang bertanggungjawab atas percetakan dan pengedaran uang oripsu tersebut. Selain itu ia juga bertugas mempertahankan nilai banding uang oripsu dengan dolar Singapura.
Namun keseimbangan antara uang Oripsu dengan Dolar Singapura tidak dapat dipertahankan. Akhirnya pada 16 Mei 1949, dikeluarkanlah ketetapan GSO nomor 302/RI tentang penetapan penarikan uang Oripsu sebnayak 500.000.000. Kondisi ini semakin diperparah dengan naiknya harga barang setiap hari. Berkurangnya impor barang yang diperlukan. Akibatnya biaya hidup semakin meningkat.
Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah mengambil beberapa tindakan, diantaranya pembentukan suatu badan penyehatan yang diketuai oleh M Nue El Ibrahimi. Tugas badan ini mempertinggi produksi barang dalam negeri dan impor barang yang dibutuhkan dari luar negeri.
Namun nasib para eksportir Aceh yang menyokong pembiayaan republik tersebut akhirnya terpuruk, karena pada 22 September 1949, Syarifuddin Prawira Negara mengeluarkan Peraturan Wakil Perdana Menteri nomor 2/1949/WPM, yang isinya melarang adanya aktivitas ekspor barang dari daerah Sumatera Utara.
Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Wakil Perdana Mentreri tanggal 17 Oktober 1949 nomor 1/1949/WPM, yang mencabut ketetapan Komisaris Pemerintah Pusat Sumatera, tanggal 14 Agustus 1948 nomor 7, yang mengatur soal pengutipan bea ekspor dan perhitungan dolar untuk hasil bumi.
Kebijaksanaan yang diambil oleh Wakil Perdana Menteri tersebut bertentangan dengan kebijakan sebelumnya yang diambil oleh pemerintah daerah soal ekspor impor barang dari dan ke Semenanjung Malaysia.
Lebih ironis lagi, para saudagar Aceh yang melakukan kontak dagang pengusaha di Semenanjung Malaysia, setelah Indonesia benar-benar merdeka tidak memperoleh perlakuan yang wajar dari pemerintah. Hutan getah yang masih harus diperoleh dari pemerintah atas dasar perjanjian jual beli, ditolak pembayarannya.
Hanya Muhammad Saman yang berhasil memperoleh haknya setelah menggugat pemerintah ke pengadilan. Sementara Abdul Gani Mutiara, Nyak Neh, dan Muhammad Hasan tidak memperoleh pembayaran hutang dari negara. Hak mereka atas perjanjian jual beli ditolak pembayarannya. Untuk memperoleh haknya, para saudagar itu pun menuntut pemerintah ke pengadilan, tapi gagal.
Pengadilan Negeri Jakarta Raya, melalui putusan nomor 335/1952 g, tanggal 13 Juli 1965, menolak tuntutan Nyak Neh dengan alasan gubernur mempunyai kedudukan istimewa, tidak dapat dituntut ke muka hakim. Alasan lainnya, tuntutan tersebut akan menjatuhkan wibawa gubernur selaku wakil pemerintah pusat di Aceh.
Nyak Neh kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi, Jakarta, namun lagi-lagi kandas. Melalui putusan nomor 212/1966 PT perdata tanggal 31 Oktober 1966, Pengadilan Tinggi Jakarta dalam amar putusannya menolak upaya banding tersebut.
Namun Nyak Neh tidak berhenti sampai disitu, ia pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namum Mahkamah Agung dalam putusannya 5 Februari 1969 Reg No 10 K/Sip/1968, menolak kasasi tersebut. Lagi-lagi pemerintah berkelit untuk membayar hutangnya pada para saudagar Aceh.

Source from acehforum.org

Segala Kekhasan Aceh, Marwah yang tak mudah dihancurkan

Posted on Updated on

“…Akar persoalan Aceh adalah kepentingan ekonomi politik, baik dari bangsa yang ingin menguasai dan bangsa yang ingin mempertahankan,Segala kekhasan Aceh adalah marwah (harkat-martabat) yang tak mudah dirampas atau bahkan dihancurkan. Selain itu, sejak tahun 1990-an, mereka juga menjadi korban bersalah atau tidak bersalah akibat perang di wilayah mereka, atas apa dan bagaimana Aceh harus tetap menjadi bagian dari Indonesia…??”
By Antony Reid
Kutipan pernyataan Anthony Reid di atas pada pengantar Buku The Contest for North Sumatera Acheh, The Netherlands and Britain 1858-1898, edisi Bahasa Indonesia yang diterbitkan penerbit Yayasan Obor Indonesia, dengan sangat tepat menggambarkan kenyataan hidup orang-orang Aceh sampai dengan hari ini.
Reid sebagai peneliti sejarah dengan baik mencatat satu periode konflik di Aceh, kemudian bangsa Indonesia menjadi saksi hidup periode konflik sesudahnya yang mengandung kekerasan yang tak kalah memilukan. Kita sebagai saksi hidup yang melihat, mendengar, berempati, membela, atau mungkin memberikan stigma atas mereka, lalu mendiamkan tragedi kekerasan berpesta pora di Aceh.
Apa yang ingin ditunjukkan oleh pernyataan Reid di atas adalah suatu kontuitas dari sebuah ritus bernama konflik. Sayangnya, sebagaimana koloni Belanda dan Inggris melawan bangsa Aceh sebagai penghambat kepentingan projek kolonisasi, demikian pula ‘negara’ kita memperlakukan rakyat Aceh sebagai duri dalam daging’, masalah dalam integrasi NKRI dan integritas nasional, tanpa kejujuran memahami dan menyelesaikan akar persoalan dan kemauan memilah antara problem masyarakat sipil Aceh dan GAM..
Dengan gamblang Reid ini menunjukkan, bahwa akar persoalan Aceh adalah kepentingan ekonomi politik, baik dari bangsa yang ingin menguasai dan bangsa yang ingin mempertahankan. Sebagai ‘pemulung catatan sejarah’ Reid berhasil menyatakan bahwa segala kekhasan Aceh adalah marwah (martabat) yang tak mudah dirampas atau dihancurkan. Marwah itu berupa sumber daya, tradisi, kebudayaan, kehidupan sosial, ekonomi dan politik, serta suku-suku mereka. semua telah membuktikan kekuatan marwah itu, baik kolonial Portugis, Inggris dan Belanda, serta terakhir Indonesia (baca; elit politik Jakarta). Seperti macan yang tertidur, marwah yang terganggu akan meraung dan melawan dengan segala cara.
Tulisan ini akan membedah tulisan Reid dengan satu maksud; memberikan suatu analisa umum perihal konflik pada masa lalu dan menjelaskan mengapa konflik tersebut berlanjut paska kemerdekaan dan penyatuan Aceh dalam NKRI. Juga bagaimana konflik pada suatu masa yang dituangkan Reid dalam bukunya terekam kuat pada setiap keturunan orang-orang Aceh, dan dengan pemahaman yang kurang lebih sama dan memberikan jawaban yang sama, berupa ‘pemberontakan’ atas nama marwah. Sebagai pelengkap, sedikit akan diulas problem kontemporer yang menjadi penyebab konflik Aceh bertahan sampai dengan perundingan damai paska tsunami yang berujung pada MoU 15 Agustus 2005 lalu.
Upaya Rakyat Aceh Bertahan dari Kolonialisasi
Sebagaimana diketahui, Aceh pada abad ke 11 merupakan pelabuhan transit bagi pedagang India dan Arab yang berniaga ke China dan pusat perdagangan rempah-rempah di Sumatera. Pada abad ke 13, kerajaan Samudra (Pasai) menjadi kerajaan terkemuka yang mengelola pelabuhan dagang di ujung sumatera tersebut, bersaing dengan kerajaan Malaka.
Pasai muncul sebagai kekuatan baru pusat perdagangan dan pengetahuan Islam setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Daratan Aceh yang terpecah-pecah dalam kerajaan-kerajaan kecil berhasil di satukan (dikuasai) penguasa kerajaan Aceh, Sultan Ali Mughayat Shah di bawah satu kepentingan, yaitu membangun kekuatan melawan Portugis.
Pada bulan Mei 1521, Ali berhasil mengalahkan armada Portugis di bawah pimpinan Jorge de Brito di laut lepas; awal dari pertempuran yang terus menerus berlangsung selama kekuasaan Portugis di Malaka, 120 tahun. Ali juga berhasil menjadikan Bandar Aceh Dar-es-Salaam sebagai jalur baru perdagangan muslim melalui selat Sunda, bukan lagi selat Malaka. Dengan ambisi mengalahkan Portugis dan memonopoli hasil ekspor Sumatera dan Malaya, kerajaan Aceh mengambil langkah resmi mengakui kekuasaan Sultan Turki atas Aceh dengan imbalan bantuan militer Turki untuk melawan Portugis.
Wilayah ini mencapai puncak kejayaannya di tangan Sultan Iskandar Muda(1607-36). Kerajaan mampu mengendalikan pelabuhan-pelabuhan strategis di pantai Barat dan Timur, bahkan sampai ke wilayah Asahan di Selatan. Hampir seluruh awal abad ke 17 merupakan tahun-tahun permusuhan dan peperangan antara Aceh dan Portugis. Akibat permusuhan ini, kapal-kapal dagang dari wilayah-wilayah yang dikuasai Portugis seperti Goa dan Malaka sama sekali tidak bisa menyinggahi Aceh.
Pasca wafatnya Iskandar Muda, kekuatan kerajaan Aceh meredup. Jabatan politik (Imam, Uleebalang, mantroe, panglima Sagoe) yang awalnya dipegang untuk kepentingan menjalankan kendali pemerintahan dan perang, menjadi jabatan turun-temurun dan mendapat kedudukan resmi dan terkemuka. Tidak ada lagi Sultan yang cukup kuat dan dipatuhi semua pihak, sehingga praktis Sultan tidak mampu mengambil tindakan apapun tanpa persetujuan para Uleebalangterkemuka.
Pada masa-masa awal kerajaan Aceh, hampir seluruh ekspedisi dagang Eropa (Inggris, Prancis, Belanda, Portugis dan Spanyol) pernah memasuki Aceh dan diterima dengan baik. Ekspedisi ini kian langkah seiring dengan meningkatnya ketegangan akibat ekspansi dan persaingan dagang di perairan ujung Sumatera tersebut. Hanya dengan pedagang Prancis dan Inggris kerajaan Aceh dapat berhubungan dagang cukup baik, selebihnya gagal dan berakhir dengan permusuhan dan peperangan.
Restrukturisasi kesultanan di tangan dinasti Arab pada 1699 dan dinasti Bugis pada 1727 gagal memulihkan kemakmuran kesultanan tersebut. Pada tahun-tahun ini Banda Aceh hanya menerima penghasilan dari perdagangan dan persinggahan di pelabuhan dengan nilai yang tak seberapa. Perdagangan secara umum dikuasai pedagang Inggris yang bermarkas di India sehingga mendorong keinginan mereka untuk mendirikan pusat pengunpulan hasil bumi. Serangkaian pendekatan pada tahun 1762 ditolak mentah-mentah sehingga akhirnya pada tahun 1786 Inggris memutuskan mencari tempat lain, Penang. Tak lama sesudah itu, budidaya lada yang diperkenalkan di Aceh berhasil gemilang. Pada tahun 1820-an, Aceh menjadi penghasil separuh dari total produksi dunia, dengan pembeli pedagang-pedangan Amerika hingga tahun 1850-an.
Pada periode ini, Aceh mau tidak mau terseret dalam perang kepentingan dagang Inggris, Belanda dan negara-negara Eropa lainnya. Dukungan Inggris kepada penguasa Aceh yang menghadapi pemberontakan dari kalangan keluarga kerajaan tak lain dimaksudkan untuk mempertahankan persekutuan menghadapi Belanda. Bagi penguasa Aceh dukungan ini penting untuk menghadapi oposisi dari kalangan keluarga kerajaan, dimana perusahaan India Timur memasok senjata dan uang dan menggunakan pengaruh mereka untuk melemahkan dan mengusir kalangan oposisi.
Karenanya kesultanan memberikan keistimewaan kepada Inggris berupa janji untuk tidak campur tangan dalam urusan perdagangan Inggris di Uleele danLhokseumawe, menetapkan persekutuan pertahanan Inggris-Aceh, tidak akan membuat perjanjian dengan bangsa asing tanpa persetujuan Inggris dan memberikan hak kepada perusahaan India Timur untuk untuk berlabuh di semua pelabuhan Aceh dan menempatkan utusan di istana Sultan. Perjanjian tersebut tidak berjalan seluruhnya, dan situasi kerajaan tidak juga membaik.
Paska perjanjian Inggris-Belanda, Inggris dan Belanda sama-sama memandangAceh sebagai wilayah yang ‘merdeka’ tidak boleh dikuasai salah satu dari mereka. Karenanya dengan segera Belanda dan Inggris menyiapkan sikap bersahabat dan pengakuan untuk Aceh dan merencanakan perjanjian yang baru. Sementara Inggris tidak lagi memandang strategis mempertahankan persekutuan denganAceh dengan adanya perjanjian tersebut. Inggris yang berkuasa di Penang mulai memutuskan untuk tidak meneruskan rencana pembuatan perjanjian dengan alasan tidak akan efektif dan merugikan, karena itu berarti mengakui kekuasaanSultan Aceh. Belanda yang mengharapkan ada pemasukan baru di wilayahnya tetap berupaya menguasai Sumatera secara keseluruhan.
Belanda sendiri pernah datang ke Aceh pada tahun 1599, Sayangnya dua bersaudara Cornelis dan Frederik de Houtman datang ketika hubungan dagang kerajaan dengan Portugis sedang baik dan Belanda sendiri merupakan musuh dengan Portugis. Cornelis mati terbunuh, sedangkan Frederik ditawan. Pada November 1600 Paulus van Caerden berhasil membuat perjanjian dagang denganAceh, namun gagal membawa lada karena dibongkar paksa di pelabuhan Acehatas hasutan Portugis. Hubungan dengan Portugis kemudian putus dan hubungan dengan Belanda membaik. Tahun 1601 pedagang Belanda bernama Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa kapal dari maskapai Zeeuw berlabuh diBanda Aceh.
Tanggal 8 April 1873 tentara Belanda mendarat di pantai Kuta Pante Ceureumen dan memulai peperangan dengan dipimpin oleh Jendral Mayor Kohler. Peperangan ini gagal dimenangkan Belanda. Akhir November 1873 ekspedisi ke II Belanda Tiba di Aceh dan mulai meyerang serta merebut Masjid Raya tanggal 25 Desember 1873 dan istana tanggal 24 Januari 1874. Semenjak Belanda merebut Bandar Aceh Darussalam pemerintahan Aceh berpindah dari satu tempat ke tempat dimana pasukan induk bermarkas. Sampai tahun 1896 peperangan masih seimbang karena pejuang Aceh sanggup merebut beberapa tempat yang berada di tangan Belanda. Tanggal 1 Juni 1898 Kolonel Van Heutsz melancarkan serangan besar-besaran ke Pidie dan daerah lainya untuk memburu Sultan dan Panglima Polem.
Setelah penangkapan-penangkapan terhadap pejuang Aceh dan keluarga sultan, pada tanggal 20 Januari 1903 Sultan ‘Alauddin Muhammad Daud Syah menyatakan –di bawah tekanan—bahwa Kerajaan Aceh menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan dia akan setia kepada Ratu Belanda dan wakilnya Gubernur Jenderal. Meskipun demikian Sultan tetap mengadakan hubungan rahasia dengan pemimpin-pemimpin perang Aceh, sehingga oleh Belanda dibuang ke Ambon.
Tentara Jepang masuk ke Aceh pada tanggal 12-13 Maret 1942 tanpa menghadapi perlawanan dari Belanda karena beberapa hari sebelum pendaratan Belanda sudah bergerak ke pedalam Aceh dan Sumatera Timur akibat perlawanan rakyat. Kekalahan Belanda di Palembang tanggal 14 Februari dan 1 Maret atas Jepang telah meyakinkan rakyat Aceh bahwa Belanda telah kehilangan kekuatan. Rakyat Aceh menerima Jepang sebagai pembebas dan bersimpatik karena mereka mengizinkan pengibaran bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya. Namun lama kelamaan rakyat Aceh merasa kecewa dan marah karena Jepang memerintahkan mereka “menyembah matahari” setiap pagi –dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Pemberontakan terhadap Jepang terjadi di Lhokseumawe dan di Pandrah pada bulan Mei 1945.
Upaya Aceh Mempertahankan Pengakuan Identitas Diri
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) lahir pada tanggal 5 Mei 1939 Peusangan, Bireun, dengan pimpinan Tengku Moehammad Daud Beureuh. PUSA merupakan kekuatan politik baru paska jatuhnya kekuasaan sultan ke tangan Hindia Belanda sebagai kelanjutan perlawanan Aceh di bawah pimpinan ulama. Organisasi yang didirikan untuk memperbaharui dan memajukan pendidikan Islam ini berubah menjadi organisasi yang berorientasi pada politik praktis, karena menjadi wadah perjuangan ulama Aceh (Tengku) melawan elit tradisional atau ulebalang (Teuku) yang dipandang berpihak pada Belanda.
Pada mulanya PUSA tidak terlihat sebagai kubu anti-Belanda dan anti-ulebalang, tetapi terlihat sebagai organisasi Islam modern yang di dalamnya juga terdapat beberapa ulebalang. Menjelang akhir kekuasaan Belanda PUSA tumbuh menjadi organisasi nasionalis murni yang anti-Belanda dan ulebalang yang digunakan Belanda menjadi alat pemerintahan di Aceh. Kalangan ulebalang dianggap tidak bisa diharapkan karena begitu berakar dalam sistem pemerintahan kolonial. Pertikaian ini berlanjut hingga masa kemerdekaan.
Beberapa bulan setelah Jepang menyerah, terjadi “perang saudara” di Aceh. Ulebalang diserang oleh ulama dan pengikutnya di seluruh Aceh. Konflik ini tidak bisa disederhanakan sebagai perang atau pertentangan antara adat dan agama atau antara kaki tangan Belanda dan Pembela kemerdekaan, namun juga dimasuki motif ekonomi dan politik. Melalui revolusi sosial kaum ulama ini peran sosial, politik dan ekonomi kaum ulebalang dilenyapkan. Dalam dua bulan (Desember 1945-Januari 1946) kaum ulebalang dimusnahkan, sedangkan yang masih tersisa diharuskan melepaskan hak-hak turun-temurun, disita hartanya dan mereka yang memangku jabatan penting dalam pemerintahan sipil dan militer Indonesia dipaksa untuk mengundurkan diri. Jabatan-jabatan ini kemudian diisi oleh kaum ulama PUSA.
Sebagai reaksi terhadap pemerintah pusat yang acuh tak acuh, pada tanggal 21 September 1953 Tengku Daud Beureuh akhirnya memproklamasikan Aceh sebagai Negara Islam (Darul Islam) dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) Imam SM Kartosuwiryo. 38 hari setelah “pemberontakan” tersebut Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberikan keterangan resmi pemerintah dengan menyatakan bahwa pemberontakan tersebut merupakan pemberontakan segelintir rakyat Aceh. Padahal suasana di seluruh wilayah Aceh terasa sangat revolusioner. Sewaktu mengepung dan menyerang pusat-pusat militer di kota-kota, “tentara” Darul Islam (DI) memandang TNI sebagai tuntra kaphee (tentara kafir) dan meneriakkan “Allahuakbar”. Semangat tersebut bertambah marak dengan berkibarnya bendera DI yang bergambar bintang dan bulan sabit putih di atas dasar merah.
Tanggal 19 September 1953 serangan terhadap pasukan pemerintah di Aceh Timur dan Utara dimulai. Pos polisi di Peureulak diserang ribuan rakyat. Semua komunikasi dengan Aceh putus tanggal 21 September. Tanggal 23-24 September Angkatan Udara membom pasukan DI di Bireuen. Takengon jatuh ke tangan DI setelah pasukan pemerintah mundur ke Bireun. Pemerintah berusaha membujuk rakyat Aceh dengan menyebarkan beribu-ribu edaran yang menyatakan bahwa tindakan DI adalah ilegal dan memperalat agama.
Setelah pertumpahan darah dan perundingan yang alot dan adanya persetujuan otonomi untuk Aceh situasi agak mereda. Sebagian prajurit Tentara Islam setelah melalui screening wajib akan dijadikan wajibmiliter darurat. Tanggal 1 Oktober 1959 pemerintah membentuk Divisi Tengku Cik Ditiro sebagai bagian khusus dari divisi tentara di Aceh (Kodam Iskandar Muda). Pegawai-pegawai DI mendapat perlakuan sama. Ini berarti bahwa Pemerintah daerah Aceh akan mengangkat bekas pemberontak yang menyatakan setia dengan Republik Indonesia sebagai pejabat sipil.
Upaya Aceh Mempertahankan Sumber Daya Ekonomi-Politik
Pada tahun 1965, tak berapa lama setelah Aceh kembali menyatakan kesediaan menjadi bagian dari NKRI dan pemberian status Daerah Istimewa, terjadi perubahan politik yang luar biasa di Jakarta. Pemerintahan Orde Lama Soekarno dilengserkan melalui ‘kudeta’ Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Soeharto. ‘Kudeta’ ini berlangsung mulus dengan memanfaatkan momentum krisis ekonomi-politik, ketidakpercayaan terhadap konsep politik presiden (terutama dari kalangan militer) dan kekhawatiran menguatnya Partai Komunis Indonesia yang menjadi 5 besar pada Pemilu 1955.
Sebagai salah satu wilayah yang kecewa dengan sikap politik Soekarno, menolak kekuatan PKI, dan menyimpan harapan baru otonomi Aceh di bawah status Daerah Istimewa, kudeta ini juga mendapat ‘restu’ masyarakat politik Aceh.
Soeharto sebagai simbol anti-komunis dan terkesan ‘bersahabat dengan Islam’ diterima secara umum di Aceh. Bahkan Ulama setempat pun juga mengeluarkan fatwa yang membolehkan pembunuhan orang-orang komunis. Beberapa laporan menyebutkan angka pembantaian yang cukup bombastis sampai dengan puluhan ribu oleh militer dan rakyat terhadap pengikut PKI .
Harapan tersebut ternyata terlalu berlebihan. Tak lama setelah pemerintahan baru berkuasa, tidak hanya harapan akan diakuinya nilai-nilai Islam sebagai bagian dari kehidupan sosial politik Aceh yang hilang, tapi juga ruang aspirasi politik lokal dihapuskan melalui kebijakan pemerintahan yang sentralistik. Mereka hanya memberikan ruang kecil bagi Aceh untuk menerima hak status Daerah Istimewa yang dijanjikan rezim terdahulu, yaitu ruang apresiasi budaya yang terbatas, sementara janji otonomi ekonomi-politik dilupakan. Pemerintah Pusat dengan segera menghapuskan sistem pemerintahan lokal dan menyeragamkan sistem pemerintahan di Aceh dengan provinsi lainnya dan menempatkan ‘orang-orang pusat’ untuk melakukan kontrol ekonomi-politik. Semua dilakukan sebagai upaya membangun stabilitas ekonomi-politik paska 1965.
Pada masa kerajaan Aceh, wilayah ini dikenal sebagai wilayah penghasil hasil pertanian terbaik. Sampai dengan tahun 1969 Aceh tetap menjadi daerah “Lumbung Padi Indonesia”. Kondisi ini berubah total paska ditemukannya sumber gas alam oleh Mobil Oil Indonesia pada 1971 di Kabupaten Aceh Utara. Pada tahun 1977, penambangan mulai dilakukan, dan wilayah ini dinyatakan sebagai Zona Industri Lhoseumawe. Pada tahun 1980-an, pertambangan ini telah menyumbangkan 30 % dari total produksi minyak dan gas Indonesia, terutama gas untuk kebutuhan ekspor.
Pada periode 1990-an, jumlah tersebut meningkat menjadi 40 % yang hampir seluruhnya (90 %) diekspor ke Jepang dan Taiwan (dengan kontrak kerjasama suplay 20 tahun).Pada tahun 1989, perusahaan Kertas Kraft Aceh juga mulai berproduksi, perlahan-lahan menghabisi hutan-hutan pinus pegunungan Aceh. Malangnya, di tengah berlimpahnya sumber daya alam, propinsi Aceh justru menjadi propinsi ke 26 termiskin penduduknya di Indonesia.
Gemerlap ekonomi ini tidak dengan serta merta membawa perubahan kehidupan ekonomi Aceh. Meskipun telah ditemukan gas alam, masyarakat tetap mengandalkan sumber pertanian dan laut sebagai sumber kehidupan yang tidak seberapa, sangat kontras dengan kehidupan di kompleks zona industri. Sampai dengan pertengahan 1970-an tak ada satu pun Sekolah Teknik Menengah di kabupaten ini, dimana melalui sekolah ini masyarakat setempat berharap bisa melanjutkan pendidikan dan bekerja di pertambangan tersebut. Hampir seluruh posisi strategis perusahaan diisi pekerja-pekerja dari luar Aceh. Yang juga terjadi adalah hilangnya tanah-tanah pertanian penduduk akibat digunakan sebagai kawasan industri dan dan pemindahan penduduk ke desa-desa baru (yang dalam beberapa kasus itu hanya berupa janji-janji).
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Acheh/Sumatera National Liberation Front (ASNLF) muncul sebagai reaksi paling ekstrim terhadap ketidakadilan ekonomi-politik paska pemberian status Daerah Istimewa di Aceh. Sebagai reaksi atas penghianatan Jakarta dan rasa frustasi terhadap pilihan mayoritas masyarakat untuk menggunakan jalur loby politik formal yang selalu gagal, GAM mengambil posisi mengorganisir gerakan bersenjata. Tengku Hasan M. Di Tiro, mendeklarasikan gerakan ini pada Oktober 1976. Pada tahun 1950-an, Tiro ikut dalam gerakan DI di Aceh. Pada tahun 1953, Tiro bekerja sebagai staf Misi Indonesia untuk PBB di New York. Ketika terjadi pemberontakan DI, dengan serta merta Tiro mendukung gerakan DI dan menyatakan diri sebagai Duta Besar DI untuk PBB.
Bagi Tiro, apa yang dilakukan elit politik Jakarta bukan saja merampas hak-hak ekonomi-politik hampir seluruh wilayah Indonesia, namun juga menggadaikan kedaulatan ke tangan kekuatan kapitalis Barat. Karenanya, Aceh yang dalam pandangan Tiro memiliki latar belakang historis yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain patut menolak diam. Atas nama pembangunan, Jakarta telah mengambil seluruh sumber daya daerah, menenpatkan aparatnya untuk menekan reaksi terhadap kebijakan ini dan mengabaikan keadilan. Apa yang dilakukan GAM adalah untuk mengembalikan dan memastikan bahwa Bangsa Acheh-Sumateradapat hidup bermartabat. Apa yang dilakukan Jakarta dalam pandangan Tiro adalah bentuk kolonialisasi baru terhadap Aceh.
Pertumpahan darah dan jatuhnya korban sipil selama konflik terjadi tidak dapat dihindarkan. Perang bukan saja berupaya menghancurkan infrastruktur gerakan bersenjata, namun nyaris menghabisi seluruh bangunan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya Aceh. Bahkan lebih jauh, perang telah menyebabkan Aceh dikucilkan dan dipandang sebagai anak pembangkang. Propaganda pemerintah terhadap GAM telah menyebabkan masyarakat Aceh yang berada diAceh dan diluar Aceh mengalami diskriminasi, stigmatisasi dan bahkan penghukuman tanpa proses hukum.
Semua peta dan posisi politik baik pemerintah RI dan GAM berubah total paska tsunami Desember 2004. Keberhasilan Perundingan Damai dan terwujudnya MoU Pemerintah-RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 lalu membuktikan; Aceh bukan bangsa yang tidak cinta damai, selama jalan damai tersebut menghargai marwahmereka. Ketika pemerintah RI membuka tawaran otonomi luas untuk Aceh, dengan segera GAM mencabut opsi merdeka dan bersedia melakukan perundingan dalam bingkai NKRI.
Semoga semua merupakan awal lahirnya damai di Aceh. Cukup sudah konflik menjadi memoria pasionist, yang tidak akan lagi terulang di masa yang akan datang. Tentu semua membutuhkan dukungan dan komitmen semua pihak, terutama Pemerintah RI dan GAM. Karena tanpa komitmen, kita hanya akan memulai suatu proses perlawanan baru di Aceh yang tidak dapat dipastikan kapan akan berhenti.

Ketika Amerika Menyerang Aceh, Perlawanan Kuala Batee

Posted on Updated on

Aceh pernah digempur Amerika Serikat akibat politik dagang dan provokasi Belanda. Pelabuhan Kuala Batu di Susoh, Aceh Selatan pun rata dengan tanah.

Sejak tahun 1789 Aceh sudah menjalin hubungan dagang dengan Amerika Serikat. Kapal-kapal dari Amerika datang untuk memuat lada yang kemudia diangkut ke Amerika Serikat, Eropa dan Cina. Menurut M Nur El Ibrahimy dalam buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, setiap tahun diangkut sekitar 42.00 pikul atau sekitar 3.000 ton. Pusat perdagangan itu dilakukan di Pelabuhan Kuala Batu, Susoh.

Sejak tahun 1829, karena harga lada di pasaran internasional merosot, jumlah kapal Amerika yang datang ke pelabuhan Aceh mulai menurun. Di antara kapal yang datang dalam masa kemerosotan ekonomi itu adalah kapal Friendship milik Silsbee, Pickman, dan Stone di bawah pimpinan nakhoda Charles Moore Endicot, seorang mualim yang sering membawa kapalnya ke Aceh.
Pada 7 Februari 1831 kapal tersebut berlabuh di pelabuhan Kuala Batu, Aceh Selatan. Ketika Endicot dan anak huahnya berada di daratan, tiba-tiba kapal tersebut dibajak oleh sekelompok penduduk Kuala Batu. Akan tetapi, dapat dirampas kembali oleh kapal-kapal Amerika yang kebetulan saat itu berada di perairan Kuala dengan kerugian sebesar US $ 50.000 dan tiga anak buahnya terbunuh.

Peristiwa itu kemudian menimbulkan sejumlah tanda tanya. Pasalnya, selama setengah abat menjalin hubungan dagang belum pernah terjadi perompakan seperti itu. Menurut M Nur El Ibrahimy, ada beberapa penyebab terjadinya peristiwa tersebut.

Pertama, peristiwa itu dipicu oleh kekecawaan orang Aceh yang selalu ditipu oleh Amerika dalam perdagangan lada. Hal itu diketahui sustu ketika, berat lada yang dibeli dari Aceh 3.986 pikul tapi ketika dijual kembali oleh Amerika beratnya menjadi 4.583 pikul. Hal itu dilakukan melalui pemalsuan takaran timbangan. “Caranya, melalui sebuah sekrup yang dapat dibuka di dasar timbangan yang berbohot 56 lbs., diisi 10 atau 15 pon timah sehingga dalam satu pikul lada orang Aceh dikecoh sebanyak 30 kati,” jelas M Nur El Ibrahimy.

Penyebab lainnya, perompakan itu terjadi akibat provokasi Belanda karena Amerika telah berhasil menguasai perdagangan lada dikawasan pantai barat-selatan Aceh. Belanda ingin merusak nama baik Kerajaan Aceh dimata dunia dengan tuduhan bajak laut dan tidak mampu melindungi kapal-kapal asing yang berlabuh diperairannya.

Aceh membantah hal itu, kepada para pedagang asing dan dunia internasional kerajaan Aceh memberi penjelasan bahwa perompakan itu ditunggangi Belanda. Belanda sengaja mempersenjatai sebuah kapal Aceh yang dirampasnya. Kapal itu dinahkodai oleh seorang suruhan Belanda yang bernama Lahuda Langkap.
Saat merompak kapal Friendship milik Amerika di Kuala Batu pada 7 Februari 1831, Lahuda Langkap dan anak buahnya yang dibayar Belanda dalam perampokan itu menggunakan bendera Kerajaan Aceh.

Pembajakan kapal Friendship itu kemudian tersiar luas di Amerika Serikat menjadi jelas ketika kapal tersebut tiba kembali di pelabuhan Salem pada tanggal 16 Juli 1831. Senator Nathanian Silsbee, salah seorang pemilik kapal Friendship dan Partai Whip (Partai Republiken) yang beroposisi terhadap pemerintahan Presiden Jackson, sekaligus seorang politikus yang sangat berpengaruh pada masa itu, langsung menyurati Presiden Jackson pada tanggal 20 Juli 1831.

Silsbee meminta agar Pemerintah Amerika menuntut ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan oleh penduduk Kuala Batu terhadap kapal Friendship. Ia juga menyampaikan petisi yang ditandatangani oleh seluruh pedagang Salem kepada Pemerintah Amerika Serikat. Isinya, meminta agar dikirimkan kapal perang ke perairan Aceh untuk menuntut ganti rugi dan penguasa yang bertanggung jawab atas Kota Pelabuhan Kuala Batu.
Di samping itu, salah seorang pemilik kapal Friendship yang lain. Robert Stones, bersarna dengan Andrew Dunlop dan salah seorang sahabatnya yang dekat dengan Presiden Jackson, meminta kepada Menteri Angkatan Laut, Levy Woodbury, agar mendesak Presiden Jackson mengirim kapal perang ke Kuala Batu. Silsbee sendiri secara pribadi menulis surat kepada Woodbury, menggambarkan betapa besar keresahan yang ditimbulkan oleh peristiwa Kuala Batu di kalangan pedagang-pedagang Salem.
Pemerintah Amerika sebelum menerima imbauan dari Senator Silsbee telah memutuskan akan mengambil tindakan terhadap pelanggaran atas kapal Friendship di Kuala Baru itu. Setelah membaca peristiwa itu dalam surat-surat kabar, Woodbury segera memerintahkan agar disiapkan segala keperluan untuk menuntut ganti rugi atas pelanggaran tersebut.
Sebelum menerima surat dan Silsbee, dia telab mengadakan konsultasi dengan Presiden Jackson pada tanggal 21 Juli 1831. Tujuannya, mendapatkan persetujuan Presiden atas surat yang akan dikirim kepada Silsbee. Isi surat ini meminta informasi mengenai peristiwa Kuala Batu. Selain itu, juga dalam rangka memberi tahu Presiden bahwa dia sedang mempersiapkan eskader Pasifik untuk melaksanakan suatu tugas di Sumatra.
Ketika Presiden Jackson menerima imbauan Silsbee, tanpa ragu-ragu segera mendukung dengan membubuhi disposisi singkat dalam surat tersebut, isinya, meminta agar kasus Kuala Batu menjadi perhatian, serta kalau diangap perlu pemerintah Amerika melalui Menteri Angkatan Laut harus mengeluarkan surat perintah kepada Kapten kapal Potomac.
Potomac merupakan kapal perang terbaik dalam armada Amerika Serikat waktu itu. Ketika kasus Kuala Batu jadi pembicaraan di Amerika, kapal tersebut sedang dalam persiapan membawa Menteri Luar Negeri Amerika Van Buren ke Inggris. Akan tetapi atas perintah Presiden Jackson kapal itu dialihtugaskan untuk berangkat ke Aceh.
Pada tanggal 9 Agustus 1831, Komodor John Downes, selaku kapten Potomac diberi instruksi yang lengkap mengenai segala tindakan yang harus dilakukan sesampainya di Kuala Batu. Pertama-tama dia harus mencari informasi lebih dahulu mengenai insiden di Kuala Batu.
Apabila informasi yang diperoleh sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh kapten kapal Friendship di Washington maka dia harus menuntut ganti rugi atas kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Aceh terhadap kapal Friendship. Kalau tuntutan itu tidak dipenuhi, dia harus menangkap pelaku-pelaku kejahatan tersebut dan inembawa mereka ke Amerika Serikat untuk diadili sebagai bajak laut.
Perintah lainnya, benteng-benteng di Kuala Batu harus dimusnahkan. Sebaliknya, bila informasi yang diperoleh di Kuala Batu berbeda dengan keterangan Kapten Kapal Friendship, maka Amerika hanya meminta ganti rugi serta menghukum pelakunya.
Pada 29 Agustus 1831, kapal Potomac berangka dari New York ke Aceh dengan membawa 260 marinir. Sebelum sampai di Kuala Batu Komodor John Downes kapten kapal tersebut melakukan penyimpangan terhadap instruksi Menteri Angkatan Laut Amerika yang diterimanya.
Ia terpengaruh dengan cerita yang didengarnya dan kapten kapal Friendship, Endicot, dan orang-orang Inggris yang dijumpainya di Tanjung Harapan dalam pelayarannya ke Kuala Batu, yaitu bahwa harapan untuk mendapat ganti rugi dan penguasa Kuala Batu tidak mungkin terpenuhi.
Ia mengirim Letnan Marinir Shubrick untuk mengamat-amati keadaan di darat, tapi penduduk Kuala Batu tidak terkecob oleh penyamaran yang dilakukan Downes. Mereka lalu berkumpul di pantai untuk menghadapi sesuatu kemungkinan. Mendengar laporan yang demikian dan Shubrick, Downes memerintahkan untuk mendarat dengan kekuatan seluruh anak buah Potomac dan mengepung benteng-benteng yang berada di pantai Kuala Batu serta menangkap pemimpin-pemimpinnya.
Subuh 6 Februari 1832, sebanyak 260 orang marinir Amerika di bawah pimpinan Shubrick mendarat di Kuala Batu dan mengepung benteng-benteng yang ada di sana. Namun, karena ada perlawanan maka marinir Amerika membunuh semua yang berada di dalam benteng-benteng, termasuk wanita dan anak-anak serta merampas segala sesuaru yang berharga.
Setelah melakukan pembunuhan itu, mariner Amerika mengundurkan diri dengan dua orang diantara mereka tewas dan sembilan luka-luka. Downes kemudian memerintahkan menembaki kota pelahuhan Kuala Batu melalui meriam-meriam dari kapal Potomac. Seketika Pelabuhan Kuala batu pun jadi abu.
Tindakan Downes itu dikecam oleh sebagian politikus Amerika, diantaranta George Bencroft, yang pada waktu penembakan Kuala Batu berada di atas kapal Potomac. Sebagian harian Amerika yang terbit di Washington, seperti harian dagang yang sangat berpengaruh, Nile’s Weekly Register, kuga mengecam tindakan tersebut.
Pada tanggal 23 Juli 1832 seorang anggota DPR Amerika, Henry A.S. Dearborn dan Partai Republik Massachusetts yang beroposisi, mengajukan sebuah mosi yang meminta agar Presiden Jackson menyampaikan kepada Kongres mengenai Instruksi Downes untuk menggempur Kuala Batu, dan laporan tentang peristiwa tersebut. Mosi ini diterima oleh sidang. Pada hari itu juga, Presiden Jackson memenuhi permintaan kongres, tetapi minta agar hal tersebut jangan dipublikasikan sebelum laporan lebih lanjut diterima.
Dalam sidang Sabtu malam, tanggal 24 Juli 1832, permintaan Presiden itu diperdebatkan. Anggota Dearborn berpendapat bahwa hal tersebut harus dipublikasikan karena bila menutup-nutupi peristiwa tersebut, Downes akan mendapatkan sorotan jelek dari khalayak ramai. Sebaliknya, Ketua Komisi Urusan Angkatan Laut, Michael Hoffman dan Partai Dernokrat New York, menentang pendapat Dearborn dengan suatu amandemen bahwa peristiwa tersebut dapat dipublikasikan, tetapi harus menunggu laporan lebih lanjut.
Dalam amanat tahunannya, Presiden Jackson tidak menyinggung sama sekali peristiwa penggempuran Kuala Batu oleh Potomac yang dipimpin Downes. “Hal mi menunjukkan bahwa peristiwa pembakaran Kuala Batu dan pernbantaian penduduknya oleh marinir Amerika telah dipeti-es’kan (dibekukan),” tulis M Nur El Ibrahimy

Oleh iskandarnorman.multiply.com