sejarah aceh
Legenda dan Keindahan Tapaktuan
Legenda Tapaktuan merupakan salah satu cerita legenda masyarakat Tapak Tuan di Aceh Selatan. Cerita ini mengisahkan asal usul sejumlah nama di kecamatan dalam Kabupaten Aceh Selatan dan asal usul nama Tapaktuan yang dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan yang hingga sekarang masih dapat kita saksikan seperti kuburan dan Jejak kaki Tuan Tapa, batu merah dan batu itam.
Di dalam cerita itu dikisahkan perjalanan hidup Tuan Tapa, seorang pertapa yang sangat taat kepada Allah. Karena ketaatannya, Tuan Tapa dapat mengetahui hal-hal gaib yang tidak diketahui manusia biasa.
Kisah ini menceritakan tentang perebutan sepasang Naga (Jantan dan Betina) dengan orang tua sang putri. Legenda klasik ini terus merakyat di Tapaktuan. Secara turun temurun, legenda itu terus berkembang. Bahkan remaja yang hidup di zaman modern ini, di Tapaktuan juga mengetahui cerita ini.
Dalam beberapa waktu yang lalu, Pengurus pernah melakukan pemostingan tentang Kisah Ini, Sobat dapat melihat kembali disini (Legenda Muasal Kota Naga Tapaktuan), Namun, karena isi artikel tsb kurang otentik dengan sebagaimana legenda yang telah di kisahkan. Saya berniat melakukan pengeposan ulang dengan sedikit melengkapi dari berbagai referensi dari buku dan artikel yang saya dapatkan dalam pertualangan saya di internet mengenai legenda ini. Komentar-komentar sobat ACW di facebook saya tayangkan kembali di bawah dalam Artikel “Legenda Muasal Kota Tapaktuan” agar sobat dapat mengkritisi Artikel ini bila ada kesalahan penulis dalam menulis artikel ini.
Sebenarnya, Legenda ini memiliki alur cerita yang sama. Namun, hanya saja cara penyampaiannya yang berbeda-beda. Yang pasti dalam semua cerita yang disampaikan tokoh adat atau masyarakat biasa tentang legenda ini tak terlepas tiga hal, yaitu ada Dua ekor Naga, Tuan Tapa. Putri Bungsu. Dan Lalu, adanya pertempuran itu. Semoga pesan moral dari legenda ini, bermanfaat bagi sobat pembaca.
******
Alkisah, seperti hari-hari sebelumnya, kedua naga itu kembali berenang ke laut mencari makan, sekarang mereka pergi ke barat. Mereka meluncur menyusuri kawasan pinggir pantai menuju ke daerah barat. Mereka membelah ombak lautan yang bergulung-gulung.
Setelah kedua naga berenang beberapa saat, mereka melihat sekelompok udang besar yang sedang berenang menuju ke muara sungai.
Kedua naga itu berenang semakin cepat. Setelah dekat dengan kelompok udang, dihirupnya air laut kuat-kuat sehingga seluruh udang masuk ke dalam perut mereka. Hingga sekarang, tempat itu disebut Desa Air Berudang dan termasuk salah satu desa di Kecamatan tapaktuan.
Suatu ketika sepasang naga sedang berjalan-jalan menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan tiba-tiba berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di tengah laut. Titik hitam itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik hitam itu mendekat ke arah sang naga. Gelombang laut yang membawanya mendekat. Si Naga Jantan dan Betina terus memperhatikan titik hitam itu.
Dari tengah lautan, mereka mendengar suara tangis bayi. Suara tangis itu semakin lama semakin keras dan jelas. Sepasang Naga itu pun berenang mendekati titik hitam tersebut di tengah lautan.
Sang Naga terjun alang kepalang. Titik hitam itu adalah benar sesosok bayi manusia yang menangis keras, diombang-ambingkan gelombang di dalam sebuah ayunan yang terbuat dari anyaman rotan. Anehnya, ayunan rotan itu tidak kemasukan air.
Pasangan Naga ini sangat senang mendapatkan putri berbentuk manusia. Konon naga itu memang sudah lama mengidam-idamkan seorang putri. Kedua Naga itu sangat menyanyangi putri pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil dalam cengkeramnya agar tidak hilang.
Demikianlah, waktu terus berganti. Dari hari ke hari, bayi itu terus tumbuh normal dan sehat sebagaimana bayi manusia lainnya. Putri kecil tersebut diberi nama Putri Bungsu. Mereka sangat mengasihi putri ini.
Bahkan Naga Jantan menciptakan tempat bermain nan indah di gunung itu. Semua buah-buahan dan minuman tersedia disana. Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu betah tinggal bersama mereka. Putri inilah yang kemudian disebut sebagai Putri Naga.
Pada suatu hari, kedua naga itu membawa putri kesayangan mereka pergi berjalan-jalan menikmati pemandangan daerah Teluk yang indah mempesona.
Sang Putri dinaikkan ke punggung Naga Jantan yang telah siap mengarungi kawasan pantai Teluk. Naga Betina berenang mengiringi dari belakang. Sang Naga betina itu sangat cemas jika putri cantik rupawan itu terjatuh dari punggung naga dan tenggelam.
Diam-diam sang Putri melontarkan rasa kekagumannya. Ia senang melihat keindahan alam pantai Teluk yang masih asri. Demikianlah keadaan sang Putri, ia terhibur selalu dengan sikap kedua naga itu.
Waktu terus bergulir, Putri Bungsu pun merangkak remaja. Dia menetap bersama naga disebuah gua yang dalam. Suatu hari, sang Putri Bungsu secara tak sengaja mendengar obrolan sepasang Naga. Dari luar gua dia terus menyimak percakapan itu. Dia tersentak. Sadar, bahwa dirinya bukan keturunan naga. Dia memiliki orang tua yang juga berasal dari bangsa manusia.
Niat untuk melarikan diripun muncul dalam benaknya. Putri Bungsu tidak gegabah. Dia bersabar untuk menemukan waktu yang tepat melarikan diri dari gunung itu. Dia takut akan kesaktian kedua naga tersebut.
Waktu yang dinantikanpun tiba. Dari atas gunung, Putri Bungsu melihat sebuah kapal berlayar dibawah kaki gunung itu. Gunung ini memang tepat berada di depan laut. Naga Jantan kala itu sedang tertidur dipinggir laut. Perlahan dia mengangkat kaki, sedikit menjinjing agar langkahnya tidak didengar Naga Jantan.
Perahu layar semakin dekat. Dia bimbang. Teringat akan kesaktian naga tersebut. Jarak Naga Jantan beristirahat dengan laut sangat dekat. Khawatir ketahuan, diapun mengurungkan niat untuk kabur dari gunung itu.
Siang-malam Putri nan cantik jelita itu mencari akal. Ide cemerlang pun muncul dikepalanya. Satu dia mengajak pasangan Naga berjalan-jalan menyusuri pantai di pulau itu. Naga kelelahan dan tertidur pulas. Putri Bungsu tak menyianyiakan kesempatan emas itu. Kakinya diseret ke atas sebuah bukit kecil yang dekat dengan laut. Agar dia bisa melihat perahu yang melintas.
Jarang sekali perahu yang mahu mendekat ke pulau itu. Namun hari itu keberuntungan Putri Naga. Sebuah perahu kecil merapat. Dia melambaikan tangan. Awak perahu ada yang menyapanya.
Perahu itulah yang membawa putri bungsu pergi, Putri bungsu naik ke atas kapal dan ikut bersama awak kapal itu. Naga yang baru terbangun dari tidur, terkejut setengah mati. Putri kesanyangannya telah pergi. Dalam benaknya, Naga berujar, pasti perahu itu yang melarikan putriku. Dia mengejar perahu yang berjalan sangat pelan itu.
Sepasang Naga itu mengejar perahu tersebut. Sementara itu, di Gua Kalam, tidak jauh dari bukit itu, seorang manusia sedang bertapa. Dia tersentak dari pertapaanya. Seakan dia sadar akan ada bencana besar dibumi. Inilah Tuan Tapa.
Dia keluar dari gua tersebut. Lalu menatap ke laut lepas. Terlihat sepasang Naga dengan kemarahan puncak sedang mengejar sebuah perahu nelayan. Tuan Tapa terkenal dengan tongkat saktinya.
Hal itu menyebabkan terjadinya pertarungan sengit antara kedua naga dengan Tuan Tapa. Mereka bertarung untuk memperebutkan bayi yang kini telah menjadi seorang putri yang cantik yang diberi nama Putri Bungsu.
Ketika Naga Jantan melancarkan serangan berikutnya, Tuan Tapa menyambut dengan libasan tongkatnya. Tubuh naga pun terpelanting ke udara dan jatuh berkeping-keping di pantai. Darah dari tubuh naga jantan yang hancur itu tumpah kemana-mana dan memerahkan tanah, bebatuan dan lautan.
Naga Betina pun mulai menyerang Tuan Tapa, Namun serangan itu dapat dipatahkan oleh Tuan Tapa, meskipun tongkat dan topi Tuan Tapa sempat tercampak ke laut, dan hingga sekarang tongkat dan topi itu masih ada dan telah menjadi batu yang terdapat di kawasan pantai Tapaktuan. Sementara Naga Betina yang hendak melarikan Putri Bungsu gagal. Malah hewan itu mengamuk sambil melarikan diri ke negeri Cina.
Dalam pelariannya itulah Naga Betina membelah sebuah pulau di kawasan Bakongan hinga menjadi dua bagian, dan hingga sekarang pulau itu bernama Pulau Dua. Bahkan hewan itu mengamuk sambil memporak porandakan sebuah pulau. Pulau itu terpecah-pecah hingga 99 buah. Itulah hingga kini disebut Pulau banyak yang terdapat di Kabupaten Aceh Singkil.
Akhirnya Tuan Tapa berhasil mengalahkan kedua naga tersebut. Sang Putri pun dapat kembali bersama orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka. Mereka memilih menetap di Aceh. Keberadaan mereka di Tanah Aceh diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan.
Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit. Seminggu kemudian Tuan Tapa meninggal dunia pada Bulan Ramadhan Tahun 4 Hijriyah . Jasadnya dikuburkan di dekat Gunung Lampu, tepatnya di depan Mesjid Tuo Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, dan hingga sekarang makam manusia keramat itu masih bisa kita saksikan hingga saat ini.
Hingga sekarang bekas tubuh naga yang berupa gumpalan darah itu masih dapat kita lihat di pantai berupa tanah dan batu yang memerah. Kini disebut dengan Tanah Merah. Batu Merah, sekitar tiga kilometer dari kota Tapaktuan. Kini gumpalan darah dan hati tersebut telah mengeras menjadi batu.
Sedangkan hati sang Naga, yang pecah dan terlempar menjadi beberapa bagian akibat pukulan tongkat sakti Tuan Tapa, peninggalannya hingga sekarang masih terlihat berupa batu-batu berwarna hitam berbentuk hati. Daerah ini kemudian diberi nama Desa Batu Hitam, masih dikecamatan yang sama.
Pada waktu Tuan Tapa hendak membunuh sang naga, terjadi kejar-kejaran antara Tuanku Tapa dan sang naga. Maka pada suatu ketika, berbekaslah tapak kaki Tuan Tapa ini. Sekarang yang masih terlihat hanya sepasang telapak kaki sangat berjauhan, di batasi oleh gunung tempat naga tinggal sebelumnya. Jejak tapak kaki tersebut, seperti jejak seseorang yang melangkahi gunung, karena tak dapat ditemukan jejak yang sama di antara kedua jejak tersebut.
Ukuran jejak kaki tersebut adalah 3 x 1,5 meter. Jejak kaki yang sebelah kanan, berada di pinggir laut diatas sebuah batu. Sedangkan jejak kaki sebelah kiri berada di dalam kota di atas tanah. Antara jejak satu dan yang satunya lagi lebih kurang berjarak 500 meter. Diberilah nama daerah yang terdapat jejak “Tapak Tuan Tapa” itu dengan nama kota “Tapak Tuan“, atau juga sering disebut “Kota Naga Tapak Tuan“.
Di tempat pertempuran Naga dan Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Tongkat mirip baru itu, dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa. Lalu, bagaimana nasib sang Putri? Beberapa tokoh masyarakat di daerah itu menceritakan, dalam legenda tersebut dikisahkan sang Putri akhirnya kembali hidup normal layaknya manusia dan hidup bahagia bersama kedua orangtuanya. Putri Bungsu kemudian mendapat julukan sebagai ‘Putri Naga’.
Karena kisah ini pula, orang menyebutkan Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Bahkan, jika memasuki kota Tapaktuan pemerintah Daerah Aceh Selatan mengukir gambar naga tepat di dinding pinggir jalan. Sekitar seratus meter dari arah timur kantor Bupati Aceh Selatan.
Demikianlah kisah Cerita Legenda Tapaktuan ini saya sampaikan apa adanya, dan mari kita ingat bahwa segala sesuatu yang sifatnya legenda adalah dongeng belaka tapi bila kita baca semua alur cerita legenda ini dalam Buku Legenda Tapaktuan yang ditulis oleh Darul Qutni Ch ini banyak mengandung pendidikan dan budi pekerti yang tidak menyimpang dari aqidah agama Islam yang mulia dan tercinta itu, serta tidak akan membuat pembaca menjadi syirik dan sesat.
Jika kita pergi ke Tapak Tuan Aceh Selatan, tapi belum mengunjungi area tapak kaki tersebut, maka seolah-olah kita belum sampai ke Tapak Tuan. Dan di dukung dengan panorama alam yang sangat luar biasa, Tahukan anda, bahwa Tapak Tuan merupakan salah satu Kota terindah di Sumatera. Jadi, bagi yang penasaran, Silakan langkahkan kaki anda ke sana …!!
* Pemandangan Panorama Alam Si Kota Naga Tapak Tuan *
Surfing Tapak Tuan
Garis pantai Tapaktuan
Jejak Telapak Kaki Tuan Tapa
The Beach of TapakTuan
Tapaktuan, Most beautiful Place of Sumatera
Best Ever place in Tapak Tuan
Kampung Batu Hitam
Tapak Tuan with Sunset
The Dragon City
Makam Tuan Tapa
TapakTuan of the Village
(Dari berbagai Sumber Lisan dan Tulisan)
Segala Kekhasan Aceh, Marwah yang tak mudah dihancurkan
“…Akar persoalan Aceh adalah kepentingan ekonomi politik, baik dari bangsa yang ingin menguasai dan bangsa yang ingin mempertahankan,Segala kekhasan Aceh adalah marwah (harkat-martabat) yang tak mudah dirampas atau bahkan dihancurkan. Selain itu, sejak tahun 1990-an, mereka juga menjadi korban bersalah atau tidak bersalah akibat perang di wilayah mereka, atas apa dan bagaimana Aceh harus tetap menjadi bagian dari Indonesia…??”By Antony Reid
Kutipan pernyataan Anthony Reid di atas pada pengantar Buku The Contest for North Sumatera Acheh, The Netherlands and Britain 1858-1898, edisi Bahasa Indonesia yang diterbitkan penerbit Yayasan Obor Indonesia, dengan sangat tepat menggambarkan kenyataan hidup orang-orang Aceh sampai dengan hari ini.
Reid sebagai peneliti sejarah dengan baik mencatat satu periode konflik di Aceh, kemudian bangsa Indonesia menjadi saksi hidup periode konflik sesudahnya yang mengandung kekerasan yang tak kalah memilukan. Kita sebagai saksi hidup yang melihat, mendengar, berempati, membela, atau mungkin memberikan stigma atas mereka, lalu mendiamkan tragedi kekerasan berpesta pora di Aceh.
Apa yang ingin ditunjukkan oleh pernyataan Reid di atas adalah suatu kontuitas dari sebuah ritus bernama konflik. Sayangnya, sebagaimana koloni Belanda dan Inggris melawan bangsa Aceh sebagai penghambat kepentingan projek kolonisasi, demikian pula ‘negara’ kita memperlakukan rakyat Aceh sebagai ‘duri dalam daging’, masalah dalam integrasi NKRI dan integritas nasional, tanpa kejujuran memahami dan menyelesaikan akar persoalan dan kemauan memilah antara problem masyarakat sipil Aceh dan GAM..
Dengan gamblang Reid ini menunjukkan, bahwa akar persoalan Aceh adalah kepentingan ekonomi politik, baik dari bangsa yang ingin menguasai dan bangsa yang ingin mempertahankan. Sebagai ‘pemulung catatan sejarah’ Reid berhasil menyatakan bahwa segala kekhasan Aceh adalah marwah (martabat) yang tak mudah dirampas atau dihancurkan. Marwah itu berupa sumber daya, tradisi, kebudayaan, kehidupan sosial, ekonomi dan politik, serta suku-suku mereka. semua telah membuktikan kekuatan marwah itu, baik kolonial Portugis, Inggris dan Belanda, serta terakhir Indonesia (baca; elit politik Jakarta). Seperti macan yang tertidur, marwah yang terganggu akan meraung dan melawan dengan segala cara.
Tulisan ini akan membedah tulisan Reid dengan satu maksud; memberikan suatu analisa umum perihal konflik pada masa lalu dan menjelaskan mengapa konflik tersebut berlanjut paska kemerdekaan dan penyatuan Aceh dalam NKRI. Juga bagaimana konflik pada suatu masa yang dituangkan Reid dalam bukunya terekam kuat pada setiap keturunan orang-orang Aceh, dan dengan pemahaman yang kurang lebih sama dan memberikan jawaban yang sama, berupa ‘pemberontakan’ atas nama marwah. Sebagai pelengkap, sedikit akan diulas problem kontemporer yang menjadi penyebab konflik Aceh bertahan sampai dengan perundingan damai paska tsunami yang berujung pada MoU 15 Agustus 2005 lalu.
Upaya Rakyat Aceh Bertahan dari Kolonialisasi
Sebagaimana diketahui, Aceh pada abad ke 11 merupakan pelabuhan transit bagi pedagang India dan Arab yang berniaga ke China dan pusat perdagangan rempah-rempah di Sumatera. Pada abad ke 13, kerajaan Samudra (Pasai) menjadi kerajaan terkemuka yang mengelola pelabuhan dagang di ujung sumatera tersebut, bersaing dengan kerajaan Malaka.
Pasai muncul sebagai kekuatan baru pusat perdagangan dan pengetahuan Islam setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Daratan Aceh yang terpecah-pecah dalam kerajaan-kerajaan kecil berhasil di satukan (dikuasai) penguasa kerajaan Aceh, Sultan Ali Mughayat Shah di bawah satu kepentingan, yaitu membangun kekuatan melawan Portugis.
Pada bulan Mei 1521, Ali berhasil mengalahkan armada Portugis di bawah pimpinan Jorge de Brito di laut lepas; awal dari pertempuran yang terus menerus berlangsung selama kekuasaan Portugis di Malaka, 120 tahun. Ali juga berhasil menjadikan Bandar Aceh Dar-es-Salaam sebagai jalur baru perdagangan muslim melalui selat Sunda, bukan lagi selat Malaka. Dengan ambisi mengalahkan Portugis dan memonopoli hasil ekspor Sumatera dan Malaya, kerajaan Aceh mengambil langkah resmi mengakui kekuasaan Sultan Turki atas Aceh dengan imbalan bantuan militer Turki untuk melawan Portugis.
Wilayah ini mencapai puncak kejayaannya di tangan Sultan Iskandar Muda(1607-36). Kerajaan mampu mengendalikan pelabuhan-pelabuhan strategis di pantai Barat dan Timur, bahkan sampai ke wilayah Asahan di Selatan. Hampir seluruh awal abad ke 17 merupakan tahun-tahun permusuhan dan peperangan antara Aceh dan Portugis. Akibat permusuhan ini, kapal-kapal dagang dari wilayah-wilayah yang dikuasai Portugis seperti Goa dan Malaka sama sekali tidak bisa menyinggahi Aceh.
Pasca wafatnya Iskandar Muda, kekuatan kerajaan Aceh meredup. Jabatan politik (Imam, Uleebalang, mantroe, panglima Sagoe) yang awalnya dipegang untuk kepentingan menjalankan kendali pemerintahan dan perang, menjadi jabatan turun-temurun dan mendapat kedudukan resmi dan terkemuka. Tidak ada lagi Sultan yang cukup kuat dan dipatuhi semua pihak, sehingga praktis Sultan tidak mampu mengambil tindakan apapun tanpa persetujuan para Uleebalangterkemuka.
Pada masa-masa awal kerajaan Aceh, hampir seluruh ekspedisi dagang Eropa (Inggris, Prancis, Belanda, Portugis dan Spanyol) pernah memasuki Aceh dan diterima dengan baik. Ekspedisi ini kian langkah seiring dengan meningkatnya ketegangan akibat ekspansi dan persaingan dagang di perairan ujung Sumatera tersebut. Hanya dengan pedagang Prancis dan Inggris kerajaan Aceh dapat berhubungan dagang cukup baik, selebihnya gagal dan berakhir dengan permusuhan dan peperangan.
Restrukturisasi kesultanan di tangan dinasti Arab pada 1699 dan dinasti Bugis pada 1727 gagal memulihkan kemakmuran kesultanan tersebut. Pada tahun-tahun ini Banda Aceh hanya menerima penghasilan dari perdagangan dan persinggahan di pelabuhan dengan nilai yang tak seberapa. Perdagangan secara umum dikuasai pedagang Inggris yang bermarkas di India sehingga mendorong keinginan mereka untuk mendirikan pusat pengunpulan hasil bumi. Serangkaian pendekatan pada tahun 1762 ditolak mentah-mentah sehingga akhirnya pada tahun 1786 Inggris memutuskan mencari tempat lain, Penang. Tak lama sesudah itu, budidaya lada yang diperkenalkan di Aceh berhasil gemilang. Pada tahun 1820-an, Aceh menjadi penghasil separuh dari total produksi dunia, dengan pembeli pedagang-pedangan Amerika hingga tahun 1850-an.
Pada periode ini, Aceh mau tidak mau terseret dalam perang kepentingan dagang Inggris, Belanda dan negara-negara Eropa lainnya. Dukungan Inggris kepada penguasa Aceh yang menghadapi pemberontakan dari kalangan keluarga kerajaan tak lain dimaksudkan untuk mempertahankan persekutuan menghadapi Belanda. Bagi penguasa Aceh dukungan ini penting untuk menghadapi oposisi dari kalangan keluarga kerajaan, dimana perusahaan India Timur memasok senjata dan uang dan menggunakan pengaruh mereka untuk melemahkan dan mengusir kalangan oposisi.
Karenanya kesultanan memberikan keistimewaan kepada Inggris berupa janji untuk tidak campur tangan dalam urusan perdagangan Inggris di Uleele danLhokseumawe, menetapkan persekutuan pertahanan Inggris-Aceh, tidak akan membuat perjanjian dengan bangsa asing tanpa persetujuan Inggris dan memberikan hak kepada perusahaan India Timur untuk untuk berlabuh di semua pelabuhan Aceh dan menempatkan utusan di istana Sultan. Perjanjian tersebut tidak berjalan seluruhnya, dan situasi kerajaan tidak juga membaik.
Paska perjanjian Inggris-Belanda, Inggris dan Belanda sama-sama memandangAceh sebagai wilayah yang ‘merdeka’ tidak boleh dikuasai salah satu dari mereka. Karenanya dengan segera Belanda dan Inggris menyiapkan sikap bersahabat dan pengakuan untuk Aceh dan merencanakan perjanjian yang baru. Sementara Inggris tidak lagi memandang strategis mempertahankan persekutuan denganAceh dengan adanya perjanjian tersebut. Inggris yang berkuasa di Penang mulai memutuskan untuk tidak meneruskan rencana pembuatan perjanjian dengan alasan tidak akan efektif dan merugikan, karena itu berarti mengakui kekuasaanSultan Aceh. Belanda yang mengharapkan ada pemasukan baru di wilayahnya tetap berupaya menguasai Sumatera secara keseluruhan.
Belanda sendiri pernah datang ke Aceh pada tahun 1599, Sayangnya dua bersaudara Cornelis dan Frederik de Houtman datang ketika hubungan dagang kerajaan dengan Portugis sedang baik dan Belanda sendiri merupakan musuh dengan Portugis. Cornelis mati terbunuh, sedangkan Frederik ditawan. Pada November 1600 Paulus van Caerden berhasil membuat perjanjian dagang denganAceh, namun gagal membawa lada karena dibongkar paksa di pelabuhan Acehatas hasutan Portugis. Hubungan dengan Portugis kemudian putus dan hubungan dengan Belanda membaik. Tahun 1601 pedagang Belanda bernama Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa kapal dari maskapai Zeeuw berlabuh diBanda Aceh.
Tanggal 8 April 1873 tentara Belanda mendarat di pantai Kuta Pante Ceureumen dan memulai peperangan dengan dipimpin oleh Jendral Mayor Kohler. Peperangan ini gagal dimenangkan Belanda. Akhir November 1873 ekspedisi ke II Belanda Tiba di Aceh dan mulai meyerang serta merebut Masjid Raya tanggal 25 Desember 1873 dan istana tanggal 24 Januari 1874. Semenjak Belanda merebut Bandar Aceh Darussalam pemerintahan Aceh berpindah dari satu tempat ke tempat dimana pasukan induk bermarkas. Sampai tahun 1896 peperangan masih seimbang karena pejuang Aceh sanggup merebut beberapa tempat yang berada di tangan Belanda. Tanggal 1 Juni 1898 Kolonel Van Heutsz melancarkan serangan besar-besaran ke Pidie dan daerah lainya untuk memburu Sultan dan Panglima Polem.
Setelah penangkapan-penangkapan terhadap pejuang Aceh dan keluarga sultan, pada tanggal 20 Januari 1903 Sultan ‘Alauddin Muhammad Daud Syah menyatakan –di bawah tekanan—bahwa Kerajaan Aceh menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan dia akan setia kepada Ratu Belanda dan wakilnya Gubernur Jenderal. Meskipun demikian Sultan tetap mengadakan hubungan rahasia dengan pemimpin-pemimpin perang Aceh, sehingga oleh Belanda dibuang ke Ambon.
Tentara Jepang masuk ke Aceh pada tanggal 12-13 Maret 1942 tanpa menghadapi perlawanan dari Belanda karena beberapa hari sebelum pendaratan Belanda sudah bergerak ke pedalam Aceh dan Sumatera Timur akibat perlawanan rakyat. Kekalahan Belanda di Palembang tanggal 14 Februari dan 1 Maret atas Jepang telah meyakinkan rakyat Aceh bahwa Belanda telah kehilangan kekuatan. Rakyat Aceh menerima Jepang sebagai pembebas dan bersimpatik karena mereka mengizinkan pengibaran bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya. Namun lama kelamaan rakyat Aceh merasa kecewa dan marah karena Jepang memerintahkan mereka “menyembah matahari” setiap pagi –dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Pemberontakan terhadap Jepang terjadi di Lhokseumawe dan di Pandrah pada bulan Mei 1945.
Upaya Aceh Mempertahankan Pengakuan Identitas Diri
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) lahir pada tanggal 5 Mei 1939 Peusangan, Bireun, dengan pimpinan Tengku Moehammad Daud Beureuh. PUSA merupakan kekuatan politik baru paska jatuhnya kekuasaan sultan ke tangan Hindia Belanda sebagai kelanjutan perlawanan Aceh di bawah pimpinan ulama. Organisasi yang didirikan untuk memperbaharui dan memajukan pendidikan Islam ini berubah menjadi organisasi yang berorientasi pada politik praktis, karena menjadi wadah perjuangan ulama Aceh (Tengku) melawan elit tradisional atau ulebalang (Teuku) yang dipandang berpihak pada Belanda.
Pada mulanya PUSA tidak terlihat sebagai kubu anti-Belanda dan anti-ulebalang, tetapi terlihat sebagai organisasi Islam modern yang di dalamnya juga terdapat beberapa ulebalang. Menjelang akhir kekuasaan Belanda PUSA tumbuh menjadi organisasi nasionalis murni yang anti-Belanda dan ulebalang yang digunakan Belanda menjadi alat pemerintahan di Aceh. Kalangan ulebalang dianggap tidak bisa diharapkan karena begitu berakar dalam sistem pemerintahan kolonial. Pertikaian ini berlanjut hingga masa kemerdekaan.
Beberapa bulan setelah Jepang menyerah, terjadi “perang saudara” di Aceh. Ulebalang diserang oleh ulama dan pengikutnya di seluruh Aceh. Konflik ini tidak bisa disederhanakan sebagai perang atau pertentangan antara adat dan agama atau antara kaki tangan Belanda dan Pembela kemerdekaan, namun juga dimasuki motif ekonomi dan politik. Melalui revolusi sosial kaum ulama ini peran sosial, politik dan ekonomi kaum ulebalang dilenyapkan. Dalam dua bulan (Desember 1945-Januari 1946) kaum ulebalang dimusnahkan, sedangkan yang masih tersisa diharuskan melepaskan hak-hak turun-temurun, disita hartanya dan mereka yang memangku jabatan penting dalam pemerintahan sipil dan militer Indonesia dipaksa untuk mengundurkan diri. Jabatan-jabatan ini kemudian diisi oleh kaum ulama PUSA.
Sebagai reaksi terhadap pemerintah pusat yang acuh tak acuh, pada tanggal 21 September 1953 Tengku Daud Beureuh akhirnya memproklamasikan Aceh sebagai Negara Islam (Darul Islam) dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) Imam SM Kartosuwiryo. 38 hari setelah “pemberontakan” tersebut Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberikan keterangan resmi pemerintah dengan menyatakan bahwa pemberontakan tersebut merupakan pemberontakan segelintir rakyat Aceh. Padahal suasana di seluruh wilayah Aceh terasa sangat revolusioner. Sewaktu mengepung dan menyerang pusat-pusat militer di kota-kota, “tentara” Darul Islam (DI) memandang TNI sebagai tuntra kaphee (tentara kafir) dan meneriakkan “Allahuakbar”. Semangat tersebut bertambah marak dengan berkibarnya bendera DI yang bergambar bintang dan bulan sabit putih di atas dasar merah.
Tanggal 19 September 1953 serangan terhadap pasukan pemerintah di Aceh Timur dan Utara dimulai. Pos polisi di Peureulak diserang ribuan rakyat. Semua komunikasi dengan Aceh putus tanggal 21 September. Tanggal 23-24 September Angkatan Udara membom pasukan DI di Bireuen. Takengon jatuh ke tangan DI setelah pasukan pemerintah mundur ke Bireun. Pemerintah berusaha membujuk rakyat Aceh dengan menyebarkan beribu-ribu edaran yang menyatakan bahwa tindakan DI adalah ilegal dan memperalat agama.
Setelah pertumpahan darah dan perundingan yang alot dan adanya persetujuan otonomi untuk Aceh situasi agak mereda. Sebagian prajurit Tentara Islam setelah melalui screening wajib akan dijadikan wajibmiliter darurat. Tanggal 1 Oktober 1959 pemerintah membentuk Divisi Tengku Cik Ditiro sebagai bagian khusus dari divisi tentara di Aceh (Kodam Iskandar Muda). Pegawai-pegawai DI mendapat perlakuan sama. Ini berarti bahwa Pemerintah daerah Aceh akan mengangkat bekas pemberontak yang menyatakan setia dengan Republik Indonesia sebagai pejabat sipil.
Upaya Aceh Mempertahankan Sumber Daya Ekonomi-Politik
Pada tahun 1965, tak berapa lama setelah Aceh kembali menyatakan kesediaan menjadi bagian dari NKRI dan pemberian status Daerah Istimewa, terjadi perubahan politik yang luar biasa di Jakarta. Pemerintahan Orde Lama Soekarno dilengserkan melalui ‘kudeta’ Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Soeharto. ‘Kudeta’ ini berlangsung mulus dengan memanfaatkan momentum krisis ekonomi-politik, ketidakpercayaan terhadap konsep politik presiden (terutama dari kalangan militer) dan kekhawatiran menguatnya Partai Komunis Indonesia yang menjadi 5 besar pada Pemilu 1955.
Sebagai salah satu wilayah yang kecewa dengan sikap politik Soekarno, menolak kekuatan PKI, dan menyimpan harapan baru otonomi Aceh di bawah status Daerah Istimewa, kudeta ini juga mendapat ‘restu’ masyarakat politik Aceh.
Soeharto sebagai simbol anti-komunis dan terkesan ‘bersahabat dengan Islam’ diterima secara umum di Aceh. Bahkan Ulama setempat pun juga mengeluarkan fatwa yang membolehkan pembunuhan orang-orang komunis. Beberapa laporan menyebutkan angka pembantaian yang cukup bombastis sampai dengan puluhan ribu oleh militer dan rakyat terhadap pengikut PKI .
Harapan tersebut ternyata terlalu berlebihan. Tak lama setelah pemerintahan baru berkuasa, tidak hanya harapan akan diakuinya nilai-nilai Islam sebagai bagian dari kehidupan sosial politik Aceh yang hilang, tapi juga ruang aspirasi politik lokal dihapuskan melalui kebijakan pemerintahan yang sentralistik. Mereka hanya memberikan ruang kecil bagi Aceh untuk menerima hak status Daerah Istimewa yang dijanjikan rezim terdahulu, yaitu ruang apresiasi budaya yang terbatas, sementara janji otonomi ekonomi-politik dilupakan. Pemerintah Pusat dengan segera menghapuskan sistem pemerintahan lokal dan menyeragamkan sistem pemerintahan di Aceh dengan provinsi lainnya dan menempatkan ‘orang-orang pusat’ untuk melakukan kontrol ekonomi-politik. Semua dilakukan sebagai upaya membangun stabilitas ekonomi-politik paska 1965.
Pada masa kerajaan Aceh, wilayah ini dikenal sebagai wilayah penghasil hasil pertanian terbaik. Sampai dengan tahun 1969 Aceh tetap menjadi daerah “Lumbung Padi Indonesia”. Kondisi ini berubah total paska ditemukannya sumber gas alam oleh Mobil Oil Indonesia pada 1971 di Kabupaten Aceh Utara. Pada tahun 1977, penambangan mulai dilakukan, dan wilayah ini dinyatakan sebagai Zona Industri Lhoseumawe. Pada tahun 1980-an, pertambangan ini telah menyumbangkan 30 % dari total produksi minyak dan gas Indonesia, terutama gas untuk kebutuhan ekspor.
Pada periode 1990-an, jumlah tersebut meningkat menjadi 40 % yang hampir seluruhnya (90 %) diekspor ke Jepang dan Taiwan (dengan kontrak kerjasama suplay 20 tahun).Pada tahun 1989, perusahaan Kertas Kraft Aceh juga mulai berproduksi, perlahan-lahan menghabisi hutan-hutan pinus pegunungan Aceh. Malangnya, di tengah berlimpahnya sumber daya alam, propinsi Aceh justru menjadi propinsi ke 26 termiskin penduduknya di Indonesia.
Gemerlap ekonomi ini tidak dengan serta merta membawa perubahan kehidupan ekonomi Aceh. Meskipun telah ditemukan gas alam, masyarakat tetap mengandalkan sumber pertanian dan laut sebagai sumber kehidupan yang tidak seberapa, sangat kontras dengan kehidupan di kompleks zona industri. Sampai dengan pertengahan 1970-an tak ada satu pun Sekolah Teknik Menengah di kabupaten ini, dimana melalui sekolah ini masyarakat setempat berharap bisa melanjutkan pendidikan dan bekerja di pertambangan tersebut. Hampir seluruh posisi strategis perusahaan diisi pekerja-pekerja dari luar Aceh. Yang juga terjadi adalah hilangnya tanah-tanah pertanian penduduk akibat digunakan sebagai kawasan industri dan dan pemindahan penduduk ke desa-desa baru (yang dalam beberapa kasus itu hanya berupa janji-janji).
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Acheh/Sumatera National Liberation Front (ASNLF) muncul sebagai reaksi paling ekstrim terhadap ketidakadilan ekonomi-politik paska pemberian status Daerah Istimewa di Aceh. Sebagai reaksi atas penghianatan Jakarta dan rasa frustasi terhadap pilihan mayoritas masyarakat untuk menggunakan jalur loby politik formal yang selalu gagal, GAM mengambil posisi mengorganisir gerakan bersenjata. Tengku Hasan M. Di Tiro, mendeklarasikan gerakan ini pada Oktober 1976. Pada tahun 1950-an, Tiro ikut dalam gerakan DI di Aceh. Pada tahun 1953, Tiro bekerja sebagai staf Misi Indonesia untuk PBB di New York. Ketika terjadi pemberontakan DI, dengan serta merta Tiro mendukung gerakan DI dan menyatakan diri sebagai Duta Besar DI untuk PBB.
Bagi Tiro, apa yang dilakukan elit politik Jakarta bukan saja merampas hak-hak ekonomi-politik hampir seluruh wilayah Indonesia, namun juga menggadaikan kedaulatan ke tangan kekuatan kapitalis Barat. Karenanya, Aceh yang dalam pandangan Tiro memiliki latar belakang historis yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain patut menolak diam. Atas nama pembangunan, Jakarta telah mengambil seluruh sumber daya daerah, menenpatkan aparatnya untuk menekan reaksi terhadap kebijakan ini dan mengabaikan keadilan. Apa yang dilakukan GAM adalah untuk mengembalikan dan memastikan bahwa Bangsa Acheh-Sumateradapat hidup bermartabat. Apa yang dilakukan Jakarta dalam pandangan Tiro adalah bentuk kolonialisasi baru terhadap Aceh.
Pertumpahan darah dan jatuhnya korban sipil selama konflik terjadi tidak dapat dihindarkan. Perang bukan saja berupaya menghancurkan infrastruktur gerakan bersenjata, namun nyaris menghabisi seluruh bangunan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya Aceh. Bahkan lebih jauh, perang telah menyebabkan Aceh dikucilkan dan dipandang sebagai anak pembangkang. Propaganda pemerintah terhadap GAM telah menyebabkan masyarakat Aceh yang berada diAceh dan diluar Aceh mengalami diskriminasi, stigmatisasi dan bahkan penghukuman tanpa proses hukum.
Semua peta dan posisi politik baik pemerintah RI dan GAM berubah total paska tsunami Desember 2004. Keberhasilan Perundingan Damai dan terwujudnya MoU Pemerintah-RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 lalu membuktikan; Aceh bukan bangsa yang tidak cinta damai, selama jalan damai tersebut menghargai marwahmereka. Ketika pemerintah RI membuka tawaran otonomi luas untuk Aceh, dengan segera GAM mencabut opsi merdeka dan bersedia melakukan perundingan dalam bingkai NKRI.
Semoga semua merupakan awal lahirnya damai di Aceh. Cukup sudah konflik menjadi memoria pasionist, yang tidak akan lagi terulang di masa yang akan datang. Tentu semua membutuhkan dukungan dan komitmen semua pihak, terutama Pemerintah RI dan GAM. Karena tanpa komitmen, kita hanya akan memulai suatu proses perlawanan baru di Aceh yang tidak dapat dipastikan kapan akan berhenti.
- 1
- 2
- …
- 6
- Selanjutnya →